05 November 2008

Sufi Kota Mencari Tuhan

SETIAP kali Ramadan tiba, setiap kali pula kita menyaksikan ramai-ramai orang mendekatkan diri pada Tuhan. Masjid semarak dengan kegiatan tarawih dan tadarus. Hotel menggelar pengajian buat eksekutif. Televisi sibuk menyiarkan acara zikir bersama. Ustad-ustad pun seketika menjadi idola masyarakat.

Sulit dibayangkan pencitraan ritual ibadah seperti sekarang ini terjadi sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Zikir, yang adabnya dulu merupakan ritual sunyi dan personal, sekarang berubah menjadi begitu masif. Tablig akbar muncul di mana-mana. Tausiyah seorang kiai pun memerlukan lampu sorot agar bisa ditonton di seantero negeri. Ini zaman kemasan untuk segala hal, tak terkecuali kegiatan keagamaan.

Memang tak terhindarkan dunia modern dengan kekuatan teknologinya yang memukau itu telah mengubah hal intim dan privat menjadi sesuatu yang kolosal dan terbuka. Sufisme, misalnya, yang semula ada di bilik-bilik tarekat tertentu, kini masuk ke tengah gelanggang yang terbuka dan modern. Ia, yang selama ini dianggap hanya membuat orang ”mabuk” dan lupa pada dunia, mendapat tantangan baru agar bisa kompatibel dengan modernisme.

Sebaliknya modernisasi tak selalu berhasil memenuhi janji-janji kesejahteraan yang ia tawarkan. Modernisasi yang diikuti globalisasi justru kerap memunculkan kesulitan baru, dari meningkatnya gaya hidup materialistik, hedonistik, hingga mewabahnya disorientasi dan depresi sosial di masyarakat. Di sinilah sufisme atau tasawuf hadir sebagai alternatif pemenuh dahaga rohaniah.

Daya tarik sufisme sebagai alternatif, bisa dipahami, membuat banyak orang muda perkotaan terpesona. Mereka, jika dilongok lebih jauh, umumnya berpendidikan tinggi dan mapan dalam pekerjaan. Secara materi tak ada yang kurang. Sebagian dari mereka malah berpenghasilan tinggi, tinggal di apartemen, bahkan memiliki mobil mewah.

Bagi kalangan muda ini, belajar tasawuf adalah jalan menyucikan diri—sebagaimana makna ”sufi” yang berasal dari kata ”safa” yang berarti kesucian. Mereka memperbanyak zikir, puasa, menggenapi salat sunah, dan belajar hidup sederhana (zuhud). Bagi yang lebih serius, mereka berkhalwat (menyepi) ke luar kota selama beberapa hari untuk berzikir. Ada pula yang menekuni tarian Rumi (whirling dervishes), atau berguru pada seorang mursyid (guru) di sebuah kelompok tarekat.

Namunkelompok terbesar dari kalangan anak muda ini memilih belajar dari lembaga yang kini bertebaran ”menjajakan” tasawuf. Cukup membayar dengan tarif tertentu, tanpa perlu masuk tarekat, mereka bisa menyelami pikiran para pejalan sufi seperti Rabiah al-Adawiyah, Al-Ghazali, atau Rumi. Membayar itu soal biasa, apalagi untuk mendapatkan ilmu. Hanya, konsekuensi yang mereka peroleh: tasawuf yang mereka pelajari jauh lebih cair—untuk tak menyebut ala kadarnya. Spiritualitas yang mereka dapatkan pun bisa dibilang terbentuk berdasarkan ”harga”.

Tren yang muncul belakangan ini bolehlah disebut fenomena sufi urban. Julia Day Howell dari Universitas Griffith, Australia, menggunakan istilah ini dalam satu kajian antropologi tentang gerakan sufisme yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia pada 2003. Ia sebenarnya menyebut istilah sufi urban sebagai meningkatnya gejala sufisme di masyarakat kota dan sama sekali tak menghubungkannya dengan ihwal tarif. Di kota-kota besar kita, yang terjadi sekarang agaknya merupakan mekanisme pasar biasa—urusan permintaan dan penawaran. Tak terbantahkan soal logika pasar ini berperan banyak menentukan minat seseorang mempelajari agama.

Kita tentu gembira mendengar orang belajar tasawuf kemudian yakin agama yang mereka anut merupakan agama cinta, bukan agama yang menghalalkan kekerasan. Keyakinan ini patut kita apresiasi.

Mereka juga menemukan bahwa sufisme bersifat toleran dan akomodatif terhadap keragaman paham keagamaan. Pada level tertentu, sufisme bahkan mengandung ajaran kesatuan agama-agama. Di sini, sekali lagi, kita mesti memberikan penghargaan. Tasawuf yang mereka pelajari ternyata amat penting dalam membentuk cara pandang yang lebih inklusif terhadap keberagamaan masyarakat kita.

Hanya, kita kerap menyaksikan orang berbondong-bondong belajar tasawuf lebih untuk meningkatkan spiritualisme pribadi, bukan spiritualisme kolektif. Sufisme cuma punya efek terhadap diri sendiri, belum pada lingkungan di luar dirinya. Mereka lebih sibuk mengurusi Tuhan, yang sebetulnya tak meminta diurus, ketimbang mengurusi kemaslahatan bersama. Mereka ini sesungguhnya telah melupakan esensi tasawuf yang jauh lebih penting: khidmat, pelayanan terhadap manusia lain. Inilah dakwah bil hal yang sesungguhnya.

Kita jelas memerlukan sufisme, tapi bukan ”jenis” yang melahirkan masyarakat yang eskapis. Lahirnya sufi urban tak akan sia-sia jika dari sana muncul banyak gagasan dan kontribusi untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sumber:Majalah TEMPO 32/XXXVII 29 September 2008

Tidak ada komentar: