26 Januari 2009

Baby oh..baby..





Belakangan ini cukup menjadi hari-hari melelahkan pikiran dan tenaga. Pengasuh tiba-tiba harus ganti lagi. Efeknya ternyata cukup banyak buat kita. Mulai dari repotnya menentukan pilihan pengasuh mana yang disukai anakku, pengasuh mana yang bisa sabar menemani bermain, membuatnya tidur siang dipangkuan, dan satu lagi...sanggup menyuapinya, tanpa muntah.

Entah apa sebenarnya masalahnya, apa sebab anakku sangat mudah sekali muntah bila makan dan minum susu. Susunya minta diganti? Sudah dicoba juga, dan ternyata nggak mau juga dengan susu merek lain. Makannya bosan, atau tidak enak? Segala jenis bubur instan sudah dicoba, yang dia mau hanya itu-itu, dan juga nasi tim buatanku, rasa itu-itu. Tapi tetap saja sulit. Apa sih sulitnya? Ketika sesuap makanan berhasil masuk ke mulutnya, ditengah kunyahan mendadak seperti akan muntah, entah tersedak atau apa...satu-satunya jalan ya diberi air dengan pipet (mempercepat dan memudahkan), supaya tidak muntah. Hal itu terus berulang, kalo dia bosen dengan mainan atau apa saja saat makan berlangsung..hmm harus full entertain..Kalau terlambat di beri air, bisa langsung muntah, seluruh isi perut...sampai habis. Keliatannya menyakitkan buat dia...Nah, itu jelas membuat pengasuh baru kewalahan, dan akhirnya takut untuk menyuapinya. Ibu mana sih yang tega, anaknya dicoba-coba, dilatih, dengan resiko seperti itu? Ada yang bilang, sedikit-sedikit, bertahap...setelah dicoba, itu malah bikin dia makin kesal ternyata, karena terus harus sering berhadapan dengan...sendok penuh makanan...atau botol susu...Juga selalu berdekatan dengan waktu tidur siangnya...hmm repot ya...

Ada yang bilang, coba sambil main aja, pasti dia akan lupa soal makanan...setelah dicoba, malah nggak karuan lagi...makin sulit makanan masuk dan ditelan. Karena posisi badan yang justru tertekuk karena menunduk, menoleh atau gerak-gerak...Jadi bisanya duduk anteng lurus-lurus aja. Hihihi...aneh ya. Tapi ya...ada yang bilang...setiap anak membawa sifat dan kebiasaan yang berbeda-beda. Aku percaya satu hal itu saja. Aku percaya anakku pun istimewa.





06 Januari 2009

Jadi ternyata.....


Kenapa aku lebih suka menyendiri, tempat sepi, tenang, tidak banyak keramaian, berkumpul dengan teman merupakan hal berat, kurang suka kumpul-kumpul rame-rame (tidak bisa lebih dari dua)...itu ternyata merupakan orientasi introvert. Sungguh, aku tidak keberatan dengan istilah itu. Biar kedengarannya negatif.

Awalnya aku heran, kok susah amat ikut arisan, pertemuan erte erwe. Padahal bukannya tidak suka kegiatan sosial atau semacamnya. Tapi rasanya badan ini sudah capek duluan sebelum kegiatan. Aku pikir aku anti sosial, ternyata istilah tepatnya justru intovert. Setidaknya aku mengenal diriku lewat nama itu.

Satu lagi adalah fobia sosial. Itu jelas, karena aku sendiri kurang siap dalam menghadapi penilaian orang. Mungkin sudah sifat dasarku, aku juga tidak keberatan dengan itu. Dianggap aneh, sombong dan angkuh. Sebenarnya sudah berusaha melatih ketakutan semacam itu sejak lama, sejak pengalaman di dunia kerja, di maki-maki orang, harus berani menghadapi orang, harus berani mempertanggungjawabkan apa yang kita kerjakan pada orang lain. Ya, aku rasa aku sudah melakukannya cukup baik. Meski sampai saat ini aku lebih menikmati kesendirianku. Tanpa perlu mendengar berbagai macam penilaian orang terhadapku, tanpa perlu mendengar hal-hal yang tidak perlu aku dengar. Fobia sosial yang aku alami rasanya bernilai cukup positif buat hidupku. Aku bisa mempertahankan sugesti positif dalam diriku...menjauhkan segala hal negatif dan bernilai pesimis.

Buatku lebih nyaman ke cafe sendiriaan ditemani kopi pahit sambil membaca buku, memasak makanan kesukaan sendirian, berada di rumah berjam-jam dan sibuk dengan taman, melukis, membuat kerajinan tangan, ke mall sendirian ditemani ipod dengan lagu-lagu oldies. Rasanya lebih "diriku".

Introvert

Dikutip dari artikel Jonathan Rauch di The Atlantic Monthly, "Caring for Your Introvert"

Pernah tahu tentang seseorang yang perlu menyendiri, berjam-jam tiap harinya? Yang gemar mengobrol tentang ide-ide, tentang perasaan? Yang kadang-kadang bisa mempresentasikan sesuatu dengan hebat di hadapan banyak orang, tapi begitu canggung saat berada di kelompok yang lebih kecil? Yang musti ditarik-tarik untuk datang ke pesta, lalu perlu seharian penuh untuk ‘penyegaran kembali’?

Kadang kita menjulukinya ‘orang serius’, atau bertanya kepadanya ‘eh, kamu sakit ya’? Menganggapnya penyendiri, sombong, dan tak sopan? Yang kita musti berjuang keras hanya untuk mengajaknya keluar?

Kemungkinan kita telah bertemu dengan seorang introvert — dan rupanya kita tidak memperlakukannya dengan baik. Sains telah belajar banyak tentang perilaku dan kebutuhan orang-orang introvert. Sains menemukan misalnya, lewat pemindaian otak, bahwa introvert memproses informasi dengan cara yang berbeda dari orang-orang umumnya. Introvert bisa jadi orang yang biasa saja, tapi mereka juga adalah salah satu kelompok masyarakat yang paling kerap disalahpahami dan dirugikan.

Jonathan Rauch, sang penulis adalah seorang introvert, bertahun-tahun mencoba mengingkarinya. Meski pada akhirnya bisa bergaul. Jonathan bukannya pemurung, atau tidak suka dengan orang. Pada dasarnya, dia jauh dari pemalu. Menyukai obrolan panjang tentang pemikiran yang mendalam, tentang eksplorasi hal-hal yang menarik. Tapi paling tidak memiliki kepercayaan diri, dan pergi keluar dengan teman-teman. Dengan cara inilah dia justru bisa lepas dari stereotipe dan kesalahpahaman yang menyakitkan. Karenanya dia ingin menjelaskan apa yang musti kita ketahui, dalam memahami anggota keluarga kita, teman, atau sejawat yang introvert. Mungkin saja, seseorang yang kita kenal baik, yang kita hormati, bisa jadi seorang introvert, dan bisa jadi pula kita akan ‘menyiksanya’ bila kita tak paham beberapa tanda-tanda.

Apa itu introversion?


Carl Jung

Konsep ini muncul sejak 1920-an dari seorang ahli psikolog, Carl Jung, dan kini menjadi variabel penting di berbagai macam tes kepribadian, termasuk Myers -Briggs Type Indicator yang terkenal itu. Kaum introvert tidak selamanya pemalu. Orang-orang pemalu adalah mereka yang cemas atau takut atau menampik diri dari lingkungan sosial; introvert pada umumnya tidak seperti itu. Orang introvert juga tidak anti orang lain, meski sebagiannya sepakat dengan Sartre yang mengatakan, “Sarapan bersama orang lain adalah neraka.” Lebih tepatnya, introvert adalah mereka yang merasa bahwa orang lain itu adalah sesuatu yang melelahkan.
Ekstrovert, sebaliknya, terpacu karena keberadaan orang lain, dan menjadi ‘layu’ atau ‘pudar’ bila sendirian. Mereka kerap bosan dengan dirinya. Coba tinggalkan ekstrovert sendirian selama dua menit dan ia akan mulai mencari dan memencet-mencet handphone-nya. Sebaliknya, kaum introvert, setelah satu atau dua jam bersosialisasi, perlu off sejenak dan ‘mengisi batere’ kembali. Formula dia pribadi adalah 2 jam menyendiri untuk setiap jam sosialisasi. Ini bukan anti-sosial. Bukan gejala depresi, dan bukan sinyal untuk darurat medis. Bagi kaum introvert, menyendiri itu sama menyegarkannya dengan tidur, makan, atau merawat diri. Motto kami: “saya baik-baik saja, kamu baik-baik saja — dalam dosis tertentu.”

Berapa banyak orang introvert?

Jonathan mencoba melakukan riset panjang di Google untuk menjawab pertanyaan ini. Jawabannya: 25 persen, atau di bawah setengah populasi. Atau, jawaban favorit : “kelompok minoritas di antara kebanyakan orang, tapi mayoritas di antara populasi orang-orang berbakat.”


Mahatma Gandhi, Albert Einstein, Michael Jordan, J. K. Rowling (Harry Potter), Steven Spielberg, Bunda Theresa, dan Bill Gates.


Apakah kaum introvert disalahpahami?

Sangat, dan dimana-mana. Begitulah rupanya nasib kaum introvert. “Sangat sukar bagi seorang ekstrovert untuk memahami introvert,” tulis pakar pendidikan Jill D. Burruss dan Lisa Kaenzig. Kaum ekstrovert tidaklah sukar untuk dipahami oleh mereka yang introvert, karena ekstrovert menghabiskan banyak waktunya dengan banyak berbicara dan berinteraksi dengan orang lain. Mereka kesana kemari bak anak anjing yang meloncat-loncat. Namun jalan tidak selamanya dua arah. Ekstrovert tak punya pemahaman yang cukup tentang introversion. Mereka menganggap bahwa rekannya ini akan selalu dengan senang hati menyambut baik dan membukakan pintu. Mereka tak bisa membayangkan bahwa ada orang yang perlu menyendiri; bahkan tidak jarang merasa tersinggung bilamana ada yang berniat seperti itu. Sepanjang Jonathan mencoba menjelaskan hal ini kepada mereka yang ekstrovert, dia tidak merasa mereka paham benar. Mereka mendengar sejenak, lalu kembali ‘menggonggong’ dan ‘menyalak’.

Apakah kaum introvert tersisih?

Rasanya begitu. Ekstrovert menjamur di dunia politik, sebuah profesi yang hanya mereka yang gemar menyerocos yang bisa bertahan. Lihat George W. Bush. Lihat Bill Clinton. Mereka tampak begitu bergairah ketika bersama dengan orang-orang. Membayangkan beberapa orang introvert yang berhasil melesat ke papan atas politik, seperti Calvin Coolidge, Richard Nixon — tidak akan mengubah pandangan semula. Kecuali Ronald Reagan, yang kecenderungannya menarik diri dari orang-orang barangkali menjadi tanda sifat introvertnya (banyak aktor, saya baca, adalah introvert, dan banyak introvert, ketika bersosialisasi, merasa bagai aktor), introvert dianggap ‘janggal’ di dunia politik.

Oleh sebab itu, ekstrovert mendominasi kehidupan publik. Patut disayangkan memang. Bila kami kaum introvert mengatur dunia, tak disangsikan lagi dunia akan menjadi tempat yang lebih tenang, lebih sehat, lebih damai. Seperti yang konon pernah diucapkan Coolidge, “Tahukah anda bahwa empat dari lima keruwetan hidup ini akan pupus bilamana kita bisa duduk dan diam?” (Dia juga konon pernah mengatakan, “Bila kita tak berbicara apa-apa, kita tak akan dituntut untuk mengulanginya.” Satu-satunya hal yang dibenci kaum introvert lebih dari berbicara tentang dirinya adalah mengulanginya.)

Dengan kegemarannya berbicara dan menarik perhatian, ekstrovert juga mendominasi kehidupan sosial, sehingga standar-standar pun ditetapkan sesuai norma dan harapan mereka. Di masyarakat ekstrovertis yang kita diami ini, menjadi orang yang outgoing atau supel adalah normal, sehingga lebih disukai — sebuah tanda kebahagian, kepercayaan diri, keunggulan. Ekstrovert disimbolkan sebagai ‘berhati besar’, ‘bersemangat’, ‘hangat’, dan ‘empati’. ‘Pujaan banyak orang’ adalah sebuah pujian bagi mereka. Introvert, sebaliknya, digambarkan sebagai ‘berhati-hati’, ‘penyendiri’, ‘pendiam’, ‘pelamun’ — kata-kata yang sempit dan tidak berperasaan yang menunjukkan kepribadian yang pelit dan emosional. Perempuan introvert, pastinya, adalah yang paling tersiksa. Di lingkungan atau budaya tertentu, seorang laki-laki terkadang masih bisa bertahan dengan julukan semacam ‘kaku’ dan ‘pendiam’. Dibandingkan laki-laki, perempuan introvert lebih cenderung dianggap ‘pemalu’, ‘penyendiri’, ‘angkuh’.

Apakah kaum introvert sombong, arogan?

Jarang. Rasanya kesalahpahaman ini lantaran karakter introvert yang lebih cerdas, lebih reflektif, lebih independen, lebih berkepala dingin, lebih halus dan sensitif dibandingkan ekstrovert. Mungkin juga karena sedikitnya kaum introvert berbicara, suatu kelemahan yang kerap dicela oleh mereka yang ekstrovert. Kami cenderung berpikir lebih dulu sebelum berbicara, sementara ekstrovert berpikir ketika berbicara, yang mungkin itu pula sebabnya rapat-rapat kaum ekstrovert tak pernah berakhir kurang dari enam jam. “Introvert,” tulis seorang rekan yang cerdas, Thomas P. Crouser, di sebuah ulasan buku berjudul Why Should Extroverts Make All the Money? (saya juga tidak mengada-ada), “kerap kebingungan oleh dialog semi-internal kaum ekstrovert. Introvert tidak terang-terangan mengeluh, sebaliknya mereka hanya mengalihkan pandangan dan diam-diam mengumpat situasi itu.”

Lebih parahnya, ekstrovert tak menyadari tekanan yang mereka timpakan kepada kami kaum introvert. Terkadang, sembari menghirup udara di tengah kabut pembicaraan mereka yang 98% tidak ada isinya itu, kami bertanya-tanya apakah ekstrovert mau barang sejenak mendengarkan diri mereka sendiri. Tapi kami mencoba menerima keadaan ini dengan tenang, karena buku-buku tentang etiket dan sopan santun — yang tentu ditulis oleh ekstrovert — menganggap tak mau berbasa-basi itu sebagai tidak sopan dan sedikit berbicara itu sebagai kejanggalan. Kami hanya berharap suatu hari, bila karakter kami ini dipahami lebih luas, atau barangkali ketika gerakan hak asasi kaum introvert mulai merekah dan berbuah, bukan lagi suatu hal yang kasar bila mengatakan, “Saya introvert. Anda orang hebat dan saya menyukai anda. Tapi mohon sekarang diamlah.”

Bagaimana memberitahu kaum introvert bahwa kita mendukung dan menghargai pilihannya?

Pertama, menyadari bahwa ini bukanlah pilihan. Bukan pula gaya hidup. Introvert adalah sebuah orientasi.

Kedua, bilamana kita mendapati seorang introvert kehilangan kata-kata, jangan berkata, “Hei, ada apa?” atau “Kamu baik-baik saja?”

Ketiga, jangan berkata yang lain juga.