29 November 2008

Libur Pendek.....


Libur pendek di hari Sabtu seperti biasa kita lewati di kebun Anggrek Eyang. Menghirup sejenak udara di ketinggian Malang tercinta. Matahari hampir tinggi, tidak ada mendung, hanya angin dan bunga-bunga yang bermekaran, dua laki-laki yang kucintai ini sedang menikmati hari nya, seperti biasa "tour de nursery".
















Pada Tuhan kupanjatkan semua rasa syukur itu, dan memohon untuk selalu memberikan keduanya kesehatan dan kemudahan dalam hidup....

25 November 2008

Nepenthes Sang Pelipur Lara




Dua tahun belakangan ini mulai tergila-gila dengan tanaman carnivora satu ini, bentuknya yang unik, berkantung untuk merangkap serangga, jadi tantangan tersendiri supaya "cocok" dalam memeliharanya yang ditandai dengan berkantung atau tidaknya tanaman ini. dan berhasil juga mempertahankan ke-rajinan-nya berkantung setiap saat, setelah bolak-balik tidak berhasil menemukan lokasi penempatan yang cocok buatnya. Tidak boleh terlalu panas, atau kering, jadi harus rajin menyiram dan menempatkannya ditempat teduh berangin. Seminggu sekali diberi makan serangga..tapi belakangan sudah pinter cari makan sendiri, banyak serangga yang mati terperangkap didalamnya.

Sedikit sejarah mengenai Si Cantik Nepethes yang kupelihara....

Nepenthes berasal dari bahasa Yunani yang artinya pelipur lara, menurut mitologi Yunani, Ratu Mesir pada saat itu memberikan hadiah tanaman ini kepada Ratu Helen, tanaman ini disebutnya sebagai tanaman pelipur lara.



Populer dengan sebutan periuk kera, adalah genus tanaman pemakan daging monotypic keluarga Nepenthaceae yang terdiri dari sekitar 120 spesies, ada yang berasal dari alam dan juga hibrida. Sebutan'Periuk kera' berasal dari fakta bahwa monyet diamati meminum air didalam tanaman ini. Air dari kantong tertutup layak diminum. Rasanya segar. Hal itu dikarenakan pH-nya netral (6-7). Namun, cairan dari kantong terbuka rasanya masam-pH mencapai 3-dan terkontaminasi jasad serangga yang jadi mangsa.



Tanaman merambat ini menyebar di Asia dan Afrika tropis, mulai dari Cina Selatan, Indonesia, Malaysia dan Filipina; barat ke Madagaskar (2 spesies) dan Seychelles; arah selatan ke Australia dan Kaledonia Baru; Dan utara ke India dan Sri Lanka.



Keragaman terbesar terjadi di Kalimantan dan Sumatera dengan banyak jenis endemik. Banyak yang hidup di tempat panas dan lembab, daerah dataran rendah, namun mayoritas adalah tanaman tropis di gunung, menyukai tempat hangat sepanjang hari dan malam dingin lembab sepanjang tahun.


13 November 2008

Lotus



Dega's Garden

Nelumbo nucifera

Seroja atau lotus (Nelumbo nucifera Gaertn.) adalah spesies tanaman air tahunan dari genus Nelumbo yang berasal dari India. Di Indonesia tanaman ini sering disebut teratai yang sebenarnya adalah Nymphaea. Seroja pernah dikenal dengan nama binomial Nelumbium speciosum (Willd.) atau Nymphaea nelumbo.

Tangkai berbentuk tabung yang kosong di tengahnya untuk jalan lewat udara. Daun terdapat di permukaan air, keluar dari tangkai yang berasal dari rimpang yang berada di dalam lumpur pada dasar kolam, sungai atau rawa. Tinggi tanaman sekitar satu meter hingga satu setengah meter.

Daun tumbuh ke atas, tinggi di atas permukaan air. Daun berbentuk bundaran penuh tanpa potongan, bergelombang di bagian tepi, dengan urat daun berkumpul ke tengah daun. Diameter daun dapat mencapai 60 cm. Permukaan daun mengandung lapisan lilin sehingga air yang jatuh ke permukaan daun membentuk butiran air.

Bunga dengan diamater sampai 20 cm. berwarna putih bersih, kuning atau merah jambu, keluar dari tangkai yang kuat menjulang di atas permukaan air. Bunga mekar di bulan Juli hingga Agustus.

Ada beberapa jenis kultivar untuk Seroja dengan bentuk dan warna bunga yang beragam. Lotus (genus Nelumbo) merupakan lambang negara India.

Manfaat

Bunga Seroja indah dipandang sehingga banyak digunakan sebagai penghias kolam di taman-taman. Rimpangnya enak dimakan dan banyak digunakan dalam masakan Jepang, masakan Tionghoa, dan masakan India. Rimpang yang dimakan mentah dapat menjadi sumber penularan parasit Trematoda.

Biji kaya dengan tepung sehingga bisa dimakan atau diolah menjadi bahan makanan. Biji yang direbus, dihaluskan dan dicampur gula menjadi isi Kue bulan yang dimakan pada Festival Pertengahan Musim Gugur (Mooncake festival). Di Tiongkok, biji yang masih muda diminum sebagai pengganti teh. Bongkol yang berlubang-lubang seperti sarang lebah dijual dalam bentuk kering sebagai pelengkap dalam seni merangkai bunga kering.

Daunnya lebar sehingga sering digunakan sebagai pembungkus, terutama pembungkus ikan di pasar tradisional sebelum penggunaan kantong plastik menjadi populer.

Teknik penanaman

Tanaman dapat berkembang biak dari biji yang sudah tua atau rimpang. Seroja dapat ditanam di pot berisi tanah berlumpur yang berair.

Sejarah

Di zaman Mesir kuno, Seroja dijumpai tumbuh bersama-sama dengan Teratai spesies Nymphaea caerulea di pinggiran sungai Nil. Bangsa Mesir zaman Firaun sangat memuliakan tanaman Seroja, sehingga bunga, buah, dan daun kelopak dijadikan motif dalam arsitektur kuil. Dari Mesir, Seroja dibawa ke Assiria dan menyebar ke Persia, India, dan Tiongkok. Pada tahun 1787, Sir Joseph Banks membawa Seroja ke Eropa Barat untuk ditanam di dalam rumah kaca di kebun raya.

Teratai

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas



Dega's Garden

Teratai (Nymphaea) adalah nama genus untuk tanaman air dari suku Nymphaeaceae. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai water-lily atau waterlily. Di Indonesia, Teratai juga digunakan untuk menyebut tanaman dari genus Nelumbo (Lotus). Pada zaman dulu, orang memang sering mencampur adukkan antara tanaman genus Nelumbo seperti Seroja dengan genus Nymphaea (Teratai). Pada tanaman genus Nelumbo, bunga terdapat jauh di atas permukaan air, daun berbentuk lingkaran penuh dan rimpangnya biasa dikonsumsi.

Tanaman ini tumbuh di permukaan air yang tenang. Bunga dan daun terdapat di permukaan air, keluar dari tangkai yang berasal dari rizoma yang berada di dalam lumpur pada dasar kolam, sungai atau rawa. Tangkai terdapat di tengah-tengah daun. Daun berbentuk bundar atau bentuk oval yang lebar yang terpotong pada jari-jari menuju ke tangkai. Permukaan daun tidak mengandung lapisan lilin sehingga air yang jatuh ke permukaan daun tidak membentuk butiran air.

Bunga terdapat pada tangkai yang merupakan perpanjangan dari rimpang. Diameter bunga antara 5-10 cm.

Teratai terdiri dari sekitar 50 spesies yang tersebar dari wilayah tropis hingga daerah subtropis seluruh dunia. Teratai yang tumbuh di daerah tropis berasal dari Mesir.

Manfaat

Teratai menjadi tanaman di kebun-kebun karena bunganya yang indah. Pelukis Perancis bernama Claude Monet terkenal dengan lukisan bunga teratai. Bunga seroja merupakan bunga yang biasa berada di istana sebagai lambang kesucian.

Sejarah

Pada zaman Mesir kuno, Teratai dan Lotus banyak tumbuh di pinggir sungai Nil. Nymphaea caerulea dan Nymphaea lotus adalah dua spesies yang berasal dari Mesir. Bunga Nymphaea caerulea hanya berumur sehari, mekar di pagi hari dan tenggelam di bawah air di senja hari. Bunga dari Nymphaea lotus mekar pada malam hari dan menguncup di pagi hari. Peninggalan dari kedua jenis bunga Teratai asli Mesir ditemukan di makam Ramses II.




Dega's Garden

Cerita Pohon Kamboja




Sejarah

Kamboja, merupakan tanaman asli dari Meksiko, Amerika Tengah, dan Venezuela, menghasilkan bunga mulai dari kuning ke merah muda tergantung pada bentuk atau silangannya. Dari Meksiko dan Amerika Tengah, Kamboja telah menyebar ke semua daerah tropis di dunia, terutama Hawaii, dimana tumbuh dan berlimpah, sehingga banyak orang berpikir bahwa kamboja merupakan endemik di sana.

Plumeria atau kamboja, mempunyai kesamaan dengan Oleander, Nerium oleander, dan keduanya memiliki racun, gtah susu , agak mirip dengan yang Euphorbia. Bunga Kamboja lebih harum di malam hari karena mempunyai fungsi untuk menipu kumbang/ moths untuk penyerbukannya. Bunga kamboja tidak memiliki nektar, dan mereka hanya menarik perhatian kumbang dengan wanginya. Kumbang yang kurang hati-hati hanya akan mentransfer serbuk sari dari bunga ke bunga lain dan mereka sia-sia dalam mencari nektar.



Etimologi dan nama umum

Tumbuhan ini berasal dari Amerika Tengah. Nama Plumeria diberikan untuk menghormati Charles Plumier (1646-1706), pakar botani asal Perancis, yang bepergian ke Baru Dunia mencatat banyak tanaman dan hewan. Sedangkan "Frangipani" berasal dari seorang bangsawan Italia diabad ke enambelas yang menemukan parfum yang berasal dari Kamboja.

Dalam Mexico, yang Nahuatl (bahasa Aztec) nama untuk tanaman ini adalah "cacalloxochitl" yang berarti "bunga gagak." Ianya digunakan untuk berbagai keperluan seperti salep atau balsam.

Kamboja mempunyai banyak nama: "Kembang Kamboja" di Indonesia, "Candi Pohon" atau "Champa" di India, "Kalachuchi" di Filipina, "Araliya" atau "Pansal Mal" di Sri Lanka, "Champa" di Laos, "Lantom" atau "Leelaawadee" di Thailand. "Plumeria" bagi orang Inggris.

Kamboja di Asia Selatan dan tenggara, dipercaya rakyat lokal sebagai tempat penampungan hantu dan setan. Keharuman kamboja dikait-kaitkan dengan makhluk mistis. Kamboja berhubungan erat dengan kebudayaan Hindu dan Buddha.


Di beberapa pulau Pasifik, seperti Tahiti, Fiji, Hawaii, Tonga, dan Cook Kepulauan Plumeria digunakan untuk membuat kalungan bunga. Dalam budaya modern Polynesia, biasa dikenakan oleh para wanita untuk menunjukkan status hubungan mereka - di telinga kanan jika mencari sebuah hubungan, dan lebih dari kiri jika sudah mendapatkan seseorang. Plumeria alba nasional adalah bunga dari Nikaragua dan Laos, di mana ia dikenal dengan nama lokal "Sacuanjoche" (Nikaragua) dan "Champa" (Laos). Di budaya Bangladesh bunga kamboja putih, dan khususnya plumeria (Bengali: চম্পা chômpa atau চাঁপা chãpa), dikaitkan dengan kematian.

12 November 2008

"Became a boy"







Seperti baru kemarin dalam buaian, sekarang sudah besar..belajar berjalan...

11 November 2008

Damai Wajah Islam

dalam Karya Besar Jalaluddin Rumi

SEBERAPA JAUH ENGKAU DATANG!

Sesungguhnya, engkau adalah tanah liat. Dari bentukan mineral, kau menjadi sayur-sayuran. Dari sayuran, kau menjadi binatang, dan dari binatang ke manusia. Selama periode ini, manusia tidak tahu ke mana ia telah pergi, tetapi ia telah ditentukan menempuh perjalanan panjang. Dan engkau harus pergi melintasi ratusan dunia yang berbeda.

EMPAT LAKI-LAKI DAN PENERJEMAH

Empat orang diberi sekeping uang.

Pertama adalah orang Persia, ia berkata, "Aku akan membeli anggur."

Kedua adalah orang Arab, ia berkata, "Tidak, karena aku ingin inab."

Ketiga adalah orang Turki, ia berkata, "Aku tidak ingin inab, aku ingin uzum."

Keempat adalah orang Yunani, ia berkata, "Aku ingin stafil."

Karena mereka tidak tahu arti nama-nama tersebut, mereka mulai bertengkar. Mereka memang sudah mendapat informasi, tetapi tanpa pengetahuan.

Orang bijak yang memperhatikan mereka berkata, "Aku tidak dapat memenuhi semua keinginan kalian, hanya dengan sekeping uang yang sama. Jika kalian jujur percayalah kepadaku, sekeping uang kalian akan menjadi empat; dan keempatnya akan menjadi satu."

Mereka pun tahu bahwa sebenarnya keempatnya dalam bahasa masing-masing, menginginkan benda yang sama, buah anggur.

AKU ADALAH KEHIDUPAN KEKASIHKU

Apa yang dapat aku lakukan, wahai ummat Muslim?

Aku tidak mengetahui diriku sendiri.

Aku bukan Kristen, bukan Yahudi,

bukan Majusi, bukan Islam.

Bukan dari Timur, maupun Barat.

Bukan dari darat, maupun laut.

Bukan dari Sumber Alam,

bukan dari surga yang berputar,

Bukan dari bumi, air, udara, maupun api;

Bukan dari singgasana, penjara, eksistensi, maupun makhluk;

Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqseen;

Bukan dari kerajaan Iraq, maupun Khurasan;

Bukan dari dunia kini atau akan datang:

surga atau neraka;

Bukan dari Adam, Hawa,

taman Surgawi atau Firdaus;

Tempatku tidak bertempat,

jejakku tidak berjejak.

Baik raga maupun jiwaku: semuanya

adalah kehidupan Kekasihku ...

BURUNG HANTU DAN ELANG RAJA

Seekor elang kerajaan hinggap di dinding reruntuhan yang dihuni burung hantu. Burung-burung hantu menakutkannya, si elang berkata, "Bagi kalian tempat ini mungkin tampak makmur, tetapi tempatku ada di pergelangan tangan raja." Beberapa burung hantu berteriak kepada temannya, "Jangan percaya kepadanya! Ia menggunakan tipu muslihat untuk mencuri rumah kita."

DIMENSI LAIN

Dunia tersembunyi memiliki awan dan hujan,

tetapi dalam jenis yang berbeda.

Langit dan cahaya mataharinya, juga berbeda.

Ini tampak nyata,

hanya untuk orang yang berbudi halus --

mereka yang tidak tertipu oleh kesempurnaan dunia yang semu.

MANFAAT PENGALAMAN

Kebenaran yang agung ada pada kita

Panas dan dingin, duka cita dan penderitaan,

Ketakutan dan kelemahan dari kekayaan dan raga

Bersama, supaya kepingan kita yang paling dalam

Menjadi nyata.

KESADARAN

Manusia mungkin berada dalam keadaan gembira, dan manusia lainnya berusaha untuk menyadarkan. Itu memang usaha yang baik. Namun keadaan ini mungkin buruk baginya, dan kesadaran mungkin baik baginya. Membangunkan orang yang tidur, baik atau buruk tergantung siapa yang melakukannya. Jika si pembangun adalah orang yang memiliki pencapaian tinggi, maka akan meningkatkan keadaan orang lain. Jika tidak, maka akan memburukkan kesadaran orang lain.

DIA TIDAK DI TEMPAT LAIN

Salib dan ummat Kristen, ujung ke ujung, sudah kuuji.

Dia tidak di Salib.

Aku pergi ke kuil Hindu, ke pagoda kuno.

Tidak ada tanda apa pun di dalamnya.

Menuju ke pegunungan Herat aku melangkah,

dan ke Kandahar Aku memandang.

Dia tidak di dataran tinggi

maupun dataran rendah. Dengan tegas,

aku pergi ke puncak gunung Kaf (yang menakjubkan).

Di sana cuma ada tempat tinggal

(legenda) burung Anqa.

Aku pergi ke Ka'bah di Mekkah.

Dia tidak ada di sana.

Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf

Dia ada di luar jangkauan Avicenna ...

Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.

Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya.

Dia tidak di tempat lain.

KAU DAN AKU

Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung, Kau dan Aku;

Dalam dua bentuk dan dua wajah -- dengan satu jiwa,

Kau dan Aku.

Warna-warni taman dan nyanyian burung memberi obat keabadian

Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.

Bintang-bintang Surga keluar memandang kita --

Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.

Kau dan Aku, dengan tiada 'Kau' atau 'Aku',

akan menjadi satu melalui rasa kita;

Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.

Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita --

Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.

Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini ...

Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan --

Kau dan Aku.

AKAN JADI APA DIRIKU?

Aku terus dan terus tumbuh seperti rumput;

Aku telah alami tujuhratus dan tujuhpuluh bentuk.

Aku mati dari mineral dan menjadi sayur-sayuran;

Dan dari sayuran Aku mati dan menjadi binatang.

Aku mati dari kebinatangan menjadi manusia.

Maka mengapa takut hilang melalui kematian?

Kelak aku akan mati

Membawa sayap dan bulu seperti malaikat:

Kemudian melambung lebih tinggi dari malaikat --

Apa yang tidak dapat kau bayangkan.

Aku akan menjadi itu.

KEBENARAN

Nabi bersabda bahwa Kebenaran telah dinyatakan:

"Aku tidak tersembunyi, tinggi atau rendah

Tidak di bumi, langit atau singgasana.

Ini kepastian, wahai kekasih:

Aku tersembunyi di kaibu orang yang beriman.

Jika kau mencari aku, carilah di kalbu-kalbu ini."

TINDAKAN DAN KATA-KATA

Aku memberi orang-orang apa yang mereka inginkan.

Aku membawakan sajak karena mereka menyukainya sebagai hiburan.

Di negaraku, orang tidak menyukai puisi.

Sudah lama aku mencari orang yang menginginkan tindakan, tetapi mereka semua ingin kata-kata.

Aku siap menunjukkan tindakan pada kalian; tetapi tidak seorang pun akan menyikapinya.

Maka aku hadirkan padamu -- kata-kata.

Ketidakpedulian yang bodoh akhirnya membahayakan, bagaimanapun hatinya satu denganmu.

RUMAH

Jika sepuluh orang ingin memasuki sebuah rumah, dan hanya sembilan yang menemukan jalan masuk, yang kesepuluh mestinya tidak mengatakan, "Ini sudah takdir Tuhan."

Ia seharusnya mencari tahu apa kekurangannya.

BURUNG HANTU

Hanya burung bersuara merdu yang dikurung.

Burung hantu tidak dimasukkan sangkar

UPAYA

Ikat dua burung bersama.

Mereka tidak akan dapat terbang,

kendati mereka tahu memiliki empat sayap.

TUGAS INI

Kau mempunyai tugas untuk dijalankan. Lakukan yang lainnya, lakukan sejumlah kegiatan, isilah waktumu secara penuh, dan jika kau tidak menjalankan tugas ini, seluruh waktumu akan sia-sia.

KOMUNITAS CINTA

Komunitas Cinta tersembunyi diantara orang banyak;

Seperti orang baik dikelilingi orang jahat.

SEBUAH BUKU

Tujuan sebuah buku mungkin sebagai petunjuk. Namun kau dapat juga menggunakannya sebagai bantal; Kendati sasarannya adalah memberi pengetahuan, petunjuk, keuntungan.Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!

JALAN TUHAN

Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!
Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;

karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!

Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah
menjadi sembilan puluh sembilan saja.

Begitulah caranya!
Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!

Karena Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalan itu.”

TULISAN DI BATU NISAN JALALUDDIN AR-RUMI

Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.



Sumber: http://media.isnet.org/sufi/Idries/Jalan/Rumi.html

Syekh Siti Jenar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.

Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran - ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.

Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.

Konsep dan ajaran

Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.

Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4. Ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syech. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'SESAT'.

Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda - beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.

Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Manunggaling Kawula Gusti

Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.

Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)")>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.

Perbedaan penafsiran ayat Al Qur'an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham 'Manunggaling Kawula Gusti'.

Hamamayu Hayuning Bawana

Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.

Kontroversi

Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.

Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.[rujukan?]

Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.

Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.

Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.

Kisah pada saat pasca kematian

Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.

Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.

Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.


Posted by netlog (netlog.wordpress.com) in Syekh Siti Jenar.
Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)

Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).

Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.

Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.

Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.

Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.

Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.

Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:

Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;

Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;

Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;

Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;

Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;

Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;

Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :

Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;

Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;

Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;

Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.

Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :

Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;

Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;

Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.

Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.

Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.

Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).

Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.

Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).

Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.

Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.

Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.

Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.

Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.
Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri”.*

Sidang para Wali

Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad.

Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar.

Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya.

Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar, tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir. Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah bukanlah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi cara penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri, paham/pandangan Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaikan di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M.

Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.

Pedah punapa mbibingung, (Untuk apa membuat bingung)
Ngangelaken ulah ngelmi, (Mempersulit ilmu)
Njeng Sunan Giri ngandika, (Kanjeng Sunan Giri berkata)
Bener kang kaya sireki, (Benar apa yang Syekh Siti Jenar Katakan)
Nanging luwih kaluputan, (Tetapi lebih keliru -kurang tepat-)
Wong wadheh ambuka wadi. (Orang berani membuka rahasia)
Telenge bae pinulung, (Kelihatannya saja menolong)
Pulunge tanpa ling aling, (Pertolongannya tanpa penghalang -tahapan-)
Kurang waskitha ing cipta, (Kurang waspada dalam cipta)
Lunturing ngelmu sajati, (-akan berakibat- Lunturnya ilmu sejati)
Sayekti kanthi nugraha, (Yang seharusnya diberikan sebagai anugerah -kepada yang mereka yang benar-benar telah matang-)
Tan saben wong anampani. (Yang diberikan kepada siapa saja)

Artinya :

Syeh Siti Jenar berkata,

Untuk apa kita membuat bingung, untuk apa pula mempersulit ilmu?, Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.

Ngrame tapa ing panggawe
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane

Mili banyu sumili
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani

. . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.

Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita.

Kinanti

Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.

10 November 2008

Al-Hallaj

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Ilustrasi Al-Hallaj

Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.

Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."

Kehidupan Al-Hallaj

Masa kanak-kanak

Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.

Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.

Masa remaja

Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.

Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.

Ibadah haji

Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.

Menjadi guru

Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.

Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.

Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Akulah Kebenaran!' dan hari-hari terakhir

Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.

Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."

Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.

Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.

Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.

Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.

Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

Life of Jalāl ad-Dīn Rumi

From Wikipedia, the free encyclopedia

Mawlānā Jalāl ad-Dīn Muḥammad Balkhī (Persian: مولانا جلال الدین محمد بلخى), also known as Jalāl ad-Dīn Muḥammad Rūmī (جلال‌الدین محمد رومی), but known to the English-speaking world simply as Rumi,(30 September 1207 – 17 December 1273), was a 13th-century Persian poet, Islamic jurist, and theologian. Rūmī is a descriptive name meaning "the Roman" since he lived most of his life in an area called Rūm because it was once ruled by the Byzantine Empire.


According to tradition, Rumi was born in Balkh (modern Afghanistan; then part of Medieval Persia), the hometown of his father's family; however, some Rumi scholars believe that he was born in Wakhsh, a small town located at the river Wakhsh in what is now Tajikistan. Wakhsh belonged to the larger province of Balkh, and in the year Rumi was born, his father was an appointed scholar there. Both these cities were at the time included in the Greater Persian cultural sphere of Khorāsān, the easternmost province of historical Persia, and were part of the Khwarezmian Empire.

His birthplace and native language both indicate a Persian heritage. Due to quarrels between different dynasties in Khorāsān, opposition to the Khwarizmid Shahs who were considered devious by Bahā ud-Dīn Walad (Rumi's father) or fear of the impending Mongol cataclysm, his father decided to migrate westwards. Rumi's family traveled west, first performing the Hajj and eventually settling in the Anatolian city Konya (capital of the Seljuk Sultanate of Rum, now located in Turkey), where he lived most of his life, composed one of the crowning glories of Persian literature and profoundly affected the culture of the area.

He lived most of his life under the Sultanate of Rum, where he produced his works and died in 1273 CE. He was buried in Konya and his shrine became a place of pilgrimage. Following his death, his followers and his son Sultan Walad founded the Mawlawīyah Sufi Order, also known as the Order of the Whirling Dervishes, famous for its Sufi dance known as the samāʿ ceremony.

Rumi's works are written in the New Persian language. A Persian literary renaissance (in the 8th/9th century) started in regions of Sistan, Khorāsān and Transoxiana and by the 10th/11th century, it overtook Arabic as the literary and cultural language in the Persian Islamic world. Although Rumi's works were written in Persian, Rumi's importance is considered to transcend national and ethnic borders. His original works are widely read in their original language across the Persian-speaking world. Translations of his works are very popular in South Asian, Turkic, Arab, and Western countries. His poetry has influenced Persian literature as well as the literature of the Urdu, Bengali, Arabic and Turkish languages. His poems have been widely translated into many of the world's languages and transposed into various formats; BBC News has described him as the "most popular poet in America".
Contents

Mawlānā's tomb. Konya,Turkey

Life

Rumi was born in Khorāsān, possibly in or near the city of Balkh. His life is described in Shams ud-Din Ahmad Aflāki's Manāqib ul-Ārifīn (written between 1318 and 1353). Rumi's father was Bahā ud-Dīn Walad, a theologian, jurist and a mystic from Balkh, who was also known during his lifetime as Sultan al-Ulama or "Sultan of the Scholars". His mother was Mu'mina Khātūn.

When the Mongols invaded Central Asia sometime between 1215 and 1220, Baha ud-Din Walad, with his whole family and a group of disciples, set out westwards. On the road to Anatolia, Rumi encountered one of the most famous mystic Persian poets, 'Attar, in the Iranian city of Nishapur, located in the province of Khorāsān. 'Attar immediately recognized Rumi's spiritual eminence. He saw the father walking ahead of the son and said, "Here comes a sea followed by an ocean." He gave the boy his Asrārnāma, a book about the entanglement of the soul in the material world. This meeting had a deep impact on the eighteen-year-old Rumi, and later on became the inspiration for his works.

From Nishapur, Walad and his entourage set out for Baghdad, meeting many of the scholars and Sufis of the city. From there they went to Baghdad, and Hejaz and performed the pilgrimage at Mecca. The migrating caravan then passed through Damascus, Malatya, Erzincan, Sivas, Kayseri and Nigde. They finally settled in Karaman for seven years; Rumi's mother and brother both died there. In 1225, Rumi married Gowhar Khatun in Karaman. They had two sons: Sultan Walad and Ala-eddin Chalabi. When his wife died, Rumi married again and had a son, Amir Alim Chalabi, and a daughter, Malakeh Khatun.

On 1 May 1228, most likely as a result of the insistent invitation of 'Alā' ud-Dīn Key-Qobād, ruler of Anatolia, Baha' ud-Din came and finally settled in Konya in Anatolia within the westernmost territories of the Seljuk Sultanate of Rûm.

Baha' ud-Din became the head of a madrassa (religious school) and when he died, Rumi, aged twenty-five, inherited his position. One of Baha' ud-Din's students, Sayyed Burhan ud-Din Muhaqqiq Termazi, continued to train Rumi in the religious and mystical doctrines of Rumi's father. For nine years, Rumi practiced Sufism as a disciple of Burhan ud-Din until the latter died in 1240 or 1241. Rumi's public life then began: he became a teacher who preached in the mosques of Konya and taught his adherents in the madrassah.

During this period, Rumi also travelled to Damascus and is said to have spent four years there.

It was his meeting with the dervish Shams-e Tabrizi on 15 November 1244 that completely changed Rumi's life. Shams had traveled throughout the Middle East searching and praying for someone who could "endure my company". A voice said to him, "What will you give in return?" Shams replied, "My head!" The voice then said, "The one you seek is Jalal ud-Din of Konya." On the night of 5 December 1248, as Rumi and Shams were talking, Shams was called to the back door. He went out, never to be seen again. It is believed that Shams was murdered with the connivance of Rumi's son, 'Ala' ud-Din; if so, Shams indeed gave his head for the privilege of mystical friendship.

Rumi's love for, and his bereavement at the death of, Shams found their expression in an outpouring of music, dance, and lyric poems, Divan-e Shams-e Tabrizi. He himself went out searching for Shams and journeyed again to Damascus. There, he realized:

Why should I seek? I am the same as
He. His essence speaks through me.
I have been looking for myself!

For more than ten years after meeting Shams, Mawlana had been spontaneously composing ghazals, and these had been collected in the Divan-i Kabir or Diwan Shams Tabrizi. Rumi found another companion in Salaḥ ud-Din-e Zarkub, a goldsmith. After Salah ud-Din's death, Rumi's scribe and favorite student, Hussam-e Chalabi, assumed the role of Rumi's companion. One day, the two of them were wandering through the Meram vineyards outside Konya when Hussam described to Rumi an idea he had had: "If you were to write a book like the Ilāhīnāma of Sanai or the Mantiq ut-Tayr of 'Attar, it would become the companion of many troubadours. They would fill their hearts from your work and compose music to accompany it." Rumi smiled and took out a piece of paper on which were written the opening eighteen lines of his Masnavi, beginning with:

Listen to the reed and the tale it tells,
How it sings of separation...

Hussam implored Rumi to write more. Rumi spent the next twelve years of his life in Anatolia dictating the six volumes of this masterwork, the Masnavi, to Hussam.

In December 1273, Rumi fell ill; he predicted his own death and composed the well-known ghazal, which begins with the verse:

How doest thou know what sort of king I have within me as companion?
Do not cast thy glance upon my golden face, for I have iron legs.

Rumi died on 17 December 1273 in Konya; his body was interred beside that of his father, and a splendid shrine, the Yeşil Türbe (Green Tomb, قبه الخضراء), was erected over his place of burial. His epitaph reads:

When we are dead, seek not our tomb in the earth, but find it in the hearts of men.

Teachings
A page of a copy circa 1503 of the Diwan-e Shams-e Tabriz-i

The general theme of Rumi's thought, like that of other mystic and Sufi poets of Persian literature, is essentially that of the concept of tawhīd – union with his beloved (the primal root) from which/whom he has been cut off and become aloof – and his longing and desire to restore it.

The Masnavi weaves fables, scenes from everyday life, Qur’anic revelations and exegesis, and metaphysics into a vast and intricate tapestry. Rumi is considered an example of Insan-e Kamil — Perfect Man, the perfected or completed human being. In the East, it is said of him that he was "not a prophet — but surely, he has brought a scripture".

Rumi believed passionately in the use of music, poetry, and dance as a path for reaching God. For Rumi, music helped devotees to focus their whole being on the divine, and to do this so intensely that the soul was both destroyed and resurrected. It was from these ideas that the practice of "whirling" dervishes developed into a ritual form. His teachings became the base for the order of the Mevlevi which his son Sultan Walad organized. Rumi encouraged samāʿ, listening to music and turning or doing the sacred dance. In the Mevlevi tradition, samāʿ represents a mystical journey of spiritual ascent through mind and love to the Perfect One. In this journey, the seeker symbolically turns towards the truth, grows through love, abandons the ego, finds the truth, and arrives at the Perfect. The seeker then returns from this spiritual journey, with greater maturity, to love and to be of service to the whole of creation without discrimination with regard to beliefs, races, classes, and nations.

According to Shahram Shiva, one reason for Rumi's popularity is that

Rumi is able to verbalize the highly personal and often confusing world of personal/spiritual growth and mysticism in a very forward and direct fashion. He does not offend anyone, and he includes everyone. The world of Rumi is neither exclusively the world of a Sufi, nor the world of a Hindu, nor a Jew, nor a Christian; it is the highest state of a human being — a fully evolved human. A complete human is not bound by cultural limitations; he touches every one of us. Today, Rumi's poems can be heard in churches, synagogues, Zen monasteries, as well as in the downtown New York art/performance/music scene.

According to Professor Majid M. Naini , Rumi's life and transformation provide true testimony and proof that people of all religions and backgrounds can live together in peace and harmony. Rumi’s visions, words, and life teach us how to reach inner peace and happiness so we can finally stop the continual stream of hostility and hatred and achieve true, global peace and harmony.

In other verses in the Masnavi, Rumi describes in detail the universal message of love:

Lover's nationality is separate from all other religions,
The lover's religion and nationality is the Beloved (God).

The lover’s cause is separate from all other causes
Love is the astrolabe of God's mysteries.

Major works

Main articles: Diwan-e Shams-e Tabrizi and Masnavi

Rumi's poetry is often divided into various categories: the quatrains (rubayāt) and odes (ğazal) of the Divan, the six books of the Masnavi, The Discourses, The Letters, and the almost unknown Six Sermons.

Poetic Works
Maṭnawīye Ma'nawī
Mevlâna museum, Konya, Turkey

* Rumi's major work is the Maṭnawīye Ma'nawī (Spiritual Couplets; Persian: مثنوی معنوی), a six-volume poem regarded by some Sufis as the Persian-language Qur'an. It is considered by many to be one of the greatest works of mystical poetry.

* Rumi's other major work is the Dīwān-e Kabīr (Great Work) or Dīwān-e Shams-e Tabrīzī (The Works of Shams of Tabriz; Persian: دیوان شمس تبریزی named in honor of Rumi's great friend and inspiration, the dervish Shams) and comprising some forty thousand verses. Several reasons have been offered for Rumi's decision to name his masterpiece after Shams; some argue that since Rumi would not have been a poet without Shams, it is apt that the collection be named after him.

Prose Works

* Fihi Ma Fihi (In It What's in It, Persian: فیه ما فیه) provides a record of seventy-one talks and lectures given by Rumi on various occasions to his disciples. It was compiled from the notes of his various disciples, so Rumi did not author the work directly. An English translation from the Persian was first published by A.J. Arberry as Discourses of Rumi(New York: Samuel Weiser, 1972), and a translation of the second book by Wheeler Thackston, Sign of the Unseen(Putney, VT: Threshold Books, 1994).

* Majāles-e Sab'a (Seven Sessions, Persian: مجالس سبعه) contains seven Persian sermons (as the name implies) or lectures given in seven different assemblies. The sermons themselves give a commentary on the deeper meaning of Quran and Hadeeth. The sermons also include quotations from poems of Sana'i, 'Attar, and other poets, including Rumi himself. As Aflakī relates, after Shams-e Tabrīzī, Rumi gave sermons at the request of notables, especially Salāh al-Dīn Zarkūb.

* Makatib (The Letters, Persian: مکاتیب) is the book containing Rumi's letters in Persian to his disciples, family members, and men of state and of influence. The letters testify that Rumi kept very busy helping family members and administering a community of disciples that had grown up around them.

Philosophical outlook

Rumi was an evolutionary thinker in the sense that he believed that the spirit after devolution from the divine Ego undergoes an evolutionary process by which it comes nearer and nearer to the same divine Ego. All matter in the universe obeys this law and this movement is due to an inbuilt urge (which Rumi calls "love") to evolve and seek enjoinment with the divinity from which it has emerged. Evolution into a human being from an animal is only one stage in this process. The doctrine of the Fall of Adam is reinterpreted as the devolution of the ego from the universal ground of divinity and is a universal, cosmic phenomenon. This synthesis of evolution and creationism is a culmination of the ideas of Plotinus and of previous Muslim philosophers like Al Farabi. The French philosopher Henri Bergson's idea of life being creative and evolutionary is similar, though unlike Bergson, Rumi believes that there is a specific goal to the process: the attainment of God. For Rumi, God is the ground as well as the goal of all existence.


I died as a mineral and became a plant,
I died as plant and rose to animal,
I died as animal and I was Man.
Why should I fear? When was I less by dying?
Yet once more I shall die as Man, to soar
With angels bless'd; but even from angelhood
I must pass on: all except God doth perish.
When I have sacrificed my angel-soul,
I shall become what no mind e'er conceived.
Oh, let me not exist! for Non-existence
Proclaims in organ tones,
To Him we shall return.


از جمادی مُردم و نامی شدم — وز نما مُردم بحیوان سرزدم

مُردم از حیوانی و آدم شدم — پس چه ترسم کی ز مردم کم شدم

حملهء دیگر بمیرم از بشر — تا برآرم از ملایک بال و پر

وز ملک هم بایدم جستن ز جو — کل شییء هالک الاوجهه

بار دیگر از ملک پران شوم — آنچه اندر وهم ناید آن شوم

پس عدم گردم عدم چو ارغنون — گویدم کانا الیه راجعون


Rumi's universality

It is often said that the teachings of Rumi are universal in nature.For Rumi, religion was mostly a personal experience and not limited to logical arguments or perceptions of the senses. Creative love, or the urge to rejoin the spirit to divinity, was the goal towards which every thing moves.The dignity of life, in particular human life (which is conscious of its divine origin and goal), was important.

I searched for God among the Christians and on the Cross and therein I found Him not.
I went into the ancient temples of idolatry; no trace of Him was there.
I entered the mountain cave of Hira and then went as far as Qandhar but God I found not.
With set purpose I fared to the summit of Mount Caucasus and found there only 'anqa's habitation.
Then I directed my search to the Kaaba, the resort of old and young; God was not there even.
Turning to philosophy I inquired about him from ibn Sina but found Him not within his range.
I fared then to the scene of the Prophet's experience of a great divine manifestation only a "two bow-lengths' distance from him" but God was not there even in that exalted court.
Finally, I looked into my own heart and there I saw Him; He was nowhere else.

Legacy

Rumi's universality

What can I do, Submitters to God? I do not know myself.
I am neither Christian nor Jew, neither Zoroastrian nor Muslim,
I am not from east or west, not from land or sea,
not from the shafts of nature nor from the spheres of the firmament,
not of the earth, not of water, not of air, not of fire.
I am not from the highest heaven, not from this world,
not from existence, not from being.
I am not from India, not from China, not from Bulgar, not from Saqsin,
not from the realm of the two Iraqs, not from the land of Khurasan
I am not from the world, not from beyond,
not from heaven and not from hell.
I am not from Adam, not from Eve, not from paradise and not from Ridwan.
My place is placeless, my trace is traceless,
no body, no soul, I am from the soul of souls.
I have chased out duality, lived the two worlds as one.
One I seek, one I know, one I see, one I call.
He is the first, he is the last, he is the outer, he is the inner.
Beyond "He" and "He is" I know no other.
I am drunk from the cup of love, the two worlds have escaped me.
I have no concern but carouse and rapture.
If one day in my life I spend a moment without you
from that hour and that time I would repent my life.
If one day I am given a moment in solitude with you
I will trample the two worlds underfoot and dance forever.
O Sun of Tabriz (Shams Tabrizi), I am so tipsy here in this world,
I have no tale to tell but tipsiness and rapture.

Rumi's importance transcends national and ethnic borders.[not in citation given] Readers of the Persian language in Iran, Afghanistan, Tajikistan and Uzbekistan see him as one of their most significant classical poets and an influence on many poets through history.[not in citation given] Rumi has also had a great influence on Turkish literature through the centuries.

Rumi's poetry forms the basis of much classical Iranian and Afghanistani music. Contemporary classical interpretations of his poetry are made by Muhammad Reza Shajarian (Iran), Shahram Nazeri (Iran), Davood Azad (Iran) and Ustad Mohammad Hashem Cheshti (Afghanistan). To many modern Westerners, his teachings are one of the best introductions to the philosophy and practice of Sufism. Pakistan's National Poet, Muhammad Iqbal, was also inspired by Rumi's works and considered him to be his spiritual leader, addressing him as "Pir Rumi" in his poems (the honorific Pir literally means "old man", but in the sufi/mystic context it means founder, master, or guide).

Rumi's work has been translated into many of the world's languages, including Russian, German, Urdu, Turkish, Arabic, French, Italian, and Spanish, and is being presented in a growing number of formats, including concerts, workshops, readings, dance performances, and other artistic creations. The English interpretations of Rumi's poetry by Coleman Barks have sold more than half a million copies worldwide, and Rumi is one of the most widely read poets in the United States.

Recordings of Rumi poems have made it to Billboard's Top 20 list. A selection of Deepak Chopra's editing of the translations by Fereydoun Kia of Rumi's love poems has been performed by Hollywood personalities such as Madonna, Goldie Hawn, Philip Glass and Demi Moore. Shahram Shiva's CD, Rumi: Lovedrunk, has been very popular in the Internet's music communities, such as MySpace.com.

Rumi and the Persian world

پارسی گو گرچه تازی خوشتر است — عشق را خود صد زبان دیگر است

Say all in Persian even if Arabic is better – Love will find its way through all languages on its own.

Rumi's poetry reflects the richness of Iranian culture and represents the literary environment of Khorasan, the medieval center of the Persian world.

These cultural, historical and linguistic ties between Rumi and the Iranian world have made Rumi an iconic Persian and Iranian poet. Rumi's poetry is displayed on the walls of many cities across the Persian-speaking world, sung in Persian music, and read in school books. Persian speakers literally live Rumi's poetry.

The Mawlawī Sufi Order

Main articles: Mevlevi and Sema

The Mawlawī Sufi order (Mawlawīyah or Mevlevi, as it is known in Turkey) was founded in 1273 by Rumi's followers after his death.[37] His first successor in the rectorship of the order was Husam Chalabi himself , after whose death in 1284 Rumi's younger and only surviving son, Sultan Walad (died 1312), favorably known as author of the mystical Maṭnawī Rabābnāma, or the Book of the Rabab, was installed as grand master of the order. The leadership of the order has been kept within Rumi's family in Konya uninterruptedly since then.

The Mawlawī Sufis, also known as Whirling Dervishes, believe in performing their dhikr in the form of samāʿ. During the time of Rumi (as attested in the Manāqib ul-Ārefīn of Aflākī), his followers gathered for musical and "turning" practices.

Rumi was himself a notable musician who played the robāb, although his favorite instrument was the ney or reed flute. The music accompanying the samāʿ consists of settings of poems from the Maṭnawī and Dīwān-e Kabīr, or of Sultan Walad's poems. The Mawlawīyah was a well-established Sufi order in the Ottoman Empire, and many of the members of the order served in various official positions of the Caliphate. The center for the Mawlawiyyah was in Konya. There is also a Mawlawī monastery (Persian: درگاه, dargāh) in Istanbul near the Galata Tower in which the samāʿ is performed and accessible to the public. The Mawlawī order issues an invitation to people of all backgrounds:
“ Come, come, whoever you are,

Wanderer, idolater, worshiper of fire,
Come even though you have broken your vows a thousand times,
Come, and come yet again.
Ours is not a caravan of despair.



Rumi's tomb in Konya, Turkey

During Ottoman times, the Mawlawīyah produced a number of notable poets and musicians, including Sheikh Ghalib, Ismail Rusuhi Dede of Ankara, Esrar Dede, Halet Efendi, and Gavsi Dede, who are all buried at the Galata Mawlawī Khāna (Turkish: Mevlevi-Hane) in Istanbul. Music, especially that of the ney, plays an important part in the Mawlawiyyah, and thus much of the traditional, oriental music that Westerners associate with Turkey originates from the Mawlawī order.

With the foundation of the modern, secular Republic of Turkey, Mustafa Kemal Atatürk removed religion from the sphere of public policy and restricted it exclusively to that of personal morals, behavior, and faith. On 13 December 1925, a law was passed closing all the tekkes (or tekeyh) (dervish lodges) and zāwiyas (chief dervish lodges), and also the centers of veneration to which pilgrimages (ziyārat) were made. Istanbul alone had more than 250 tekkes as well as small centers for gatherings of various fraternities; this law dissolved the Sufi Orders, prohibited the use of mystical names, titles and costumes pertaining to their titles, impounded the Orders' assets, and banned their ceremonies and meetings. The law also provided penalties for those who tried to re-establish the Orders. Two years later, in 1927, the Mausoleum of Mevlana in Konya was allowed to reopen as a Museum.

In the 1950s, the Turkish government began allowing the Whirling Dervishes to perform once a year in Konya. The Mawlānā festival is held over two weeks in December; its culmination is on 17 December, the Urs of Mawlānā (anniversary of Rumi's death), called Šabe Arūs (شب عروس) (Persian meaning "nuptial night"), the night of Rumi's union with God. In 1974, the Whirling Dervishes were permitted to travel to the West for the first time.

Rumi and orthodox Islam

The idea that Rumi cared little for orthodox Islam has been put forward in translations of poems sometimes attributed to him but which are not the work of Rumi. Some writers have even claimed or suggested that Rumi was not really a Muslim, because they believe that the line

na tarsā na yahūdam man na gabram na musalmānam
نه ترسا، نه یهودم من، نه گبرم نه مسلمانم
(not a Christian, nor a Jew I am, not a Zoroastrian, nor a Muslim.)

expresses Rumi's true attitude toward Islam. However, the poem in which that line occurs is not in the earliest manuscripts, and is probably is not a genuine Rumi poem.[citation needed] R.A. Nicholson first published a translation of this line in 1898, but he admitted that, "[t]he original text does not occur in any of the editions or MSS used by me" (p. 281). Futhermore, this should not be interpreted literally, since this is just another form of a central theme in all Rumi's poetry: the enlightened being who has transcended religions into the complete man.

Rumi's actual approach to Islam is clarified by his quatrain:

Man banda-ye qur'ānam, agar jān dāram
man khāk-e rah-e muhammad-e mukhtāram
gar naql konad joz īn kas az goftāram
bēzāram azō waz-īn sokhan bēzāram.

,

I am the servant of the Qur'an as long as I have life.
I am the dust on the path of Muhammad, the Chosen One.
If anyone quotes anything except this from my sayings,
I am quit of him and outraged by these words.

Seyyed Hossein Nasr states:

One of the greatest living authorities on Rûmî in Persia today, Hâdî Hâ'irî, has shown in an unpublished work that some 6,000 verses of the Dîwân and the Mathnawî are practically direct translations of Qur'ânic verses into Persian poetry.

Rumi states in his Dīwān:

The Sufi is hanging on to Muhammad, like Abu Bakr.

Make your intellect a sacrifice in the presence of Muhammad, and say, "God is sufficient for me, since God is enough for satisfying me.

Eight hundredth anniversary celebrations


A postage stamp honoring Rumi.


Mawlana Jalal-ud-Dine Balkhi-Rumi is one of the greatest spiritual masters and mystic poets of Islamic civilization. In Afghanistan, he is known as "Mawlana", in Iran as "Mawlawi", and in Turkey, "Mevlana".

At the proposal of the Permanent Delegations of Afghanistan, Egypt, and Turkey, and as approved by its Executive Board and General Conference in conformity with its mission of “constructing in the minds of men the defences of peace”, UNESCO was associated with the celebration, in 2007, of the eight hundredth anniversary of Rumi's birth. The commemoration at UNESCO itself took place on 6 September 2007;UNESCO issued a medal in Rumi's name in the hope that it would prove an encouragement to those who are engaged in research on and dissemination of Rumi's ideas and ideals, which would, in turn, enhance the diffusion of the ideals of UNESCO.

The Afghan Ministry of Culture and Youth established a national committee which organized an international seminar to celebrate the birth and life of the great ethical philosopher and world-renowned poet. This grand gathering of the intellectuals, diplomats, and followers of Maulana was held in Kabul and in Balkh.

On 30 September 2007, Iranian school bells were rung throughout the country in honor of Mowlana. Also in that year, Iran held a Rumi Week from 26 October to 2 November. An international ceremony and conference were held in Tehran; the event was opened by the Iranian president and the chairman of the Iranian parliament. Scholars from twenty-nine countries attended the events, and 450 articles were presented at the conference.Iranian musician Shahram Nazeri was awarded the Légion d'honneur and Iran's House of Music Award in 2007 for his renowned works on Rumi masterpieces. 2006 was declared as the "International Mozart Year" by UNESCO.

Also on 30 September 2007, Turkey celebrated Rumi’s eight-hundredth birthday with a giant Whirling Dervish ritual performance of the samāʿ, which was televised using forty-eight cameras and broadcast live in eight countries. Ertugrul Gunay, of the Ministry of Culture and Tourism of Turkey, stated, "Three hundred dervishes are scheduled to take part in this ritual, making it the largest performance of sama in history."