13 Februari 2008

"My Baby Blues"

Membebaskan Istri dari "Baby Blues"

Jakarta, Rabu 10 November 2004

Perempuan mana yang tak bahagia diberi kesempatan melahirkan dan merawat anak?
Namun, ternyata tak selamanya kehidupan pasca melahirkan itu menyenangkan. Ada episode yang membuat si ibu uring-uringan. Baby blues istilah kerennya.
Masih ingat Brooke Shields?
Bintang film cantik berusia 39 tahun itu kini telah mempunyai seorang anak, buah cintanya dengan Chris Henchy. Sayangnya, kelahiran si buah hati ternyata menyisakan derita bagi dirinya. Ia mengalami depresi pasca melahirkan (DPM). Saking senewennya, sampai-sampai ia merasa perlu menuliskan pengalamannya lewat buku Down Came the Rain yang dijadwalkan terbit 2005 nanti. "Saya berharap, dengan blak-blakan tentang rasa takut, kaget, dan malu yang saya rasakan bisa menghindarkan wanita lain dari gangguan ini. Masyarakat pun lebih memberi perhatian," bilang Broke.
Bicara soal DPM, sejumlah literatur kesehatan membedakan antara postpartum depression, postpartum syndrome, postnatal depression. Padahal sebenarnya, "Prinsipnya sama. Ketiganya nama generik. Baby blues istilah populernya," tegas psikolog A. Kasandravati.
Walaupun baru sekitar 50 tahun terakhir ini menjadi perhatian khusus, DPM telah disinggung oleh Hippocrates (Bapak Kedokteran) sejak abad ke-4 SM. Ia bilang, seorang wanita yang baru saja melahirkan kadang suka berlaku sedikit aneh.
Mengapa ibu yang mestinya berbahagia ini justru dirundung masalah?

Mimpi ibu sempurna

"Saya sudah menyusuinya sampai kenyang. Kemudian dia menangis karena mengompol. Lalu saya ganti popoknya. Belum lagi menukar baju saya yang basah kena ompol, tiba-tiba dia menangis lagi. Ngompol lagi! Saya letih dan sedih sekali. Apakah hidup saya hanya untuk mengurusi bayi? Padahal sebelumnya saya punya karier," kenang Sophie Navita, pemandu acara hiburan di sejumlah televisi swasta nasional. Di sisi lain, "Saya sendirian di rumah, membayangkan Pongki yang sedang konser di luar kota dikelilingi gadis-gadis dengan tubuh segini," kata istri musisi kelompok Jikustik ini sambil menunjukkan kelingkingnya. "Sementara, bobot dan bentuk tubuh saya belum kembali seperti dulu," sambungnya. Ucapan Sophie pada jumpa pers pemberian ASI eksklusif ini cukup menggambarkan penyebab dari gejala baby blues.
"Keluar keringat dingin, sesak napas, sulit tidur, gelisah, tegang, bingung, terasing, sedih, sakit, marah, merasa bersalah, dan tak berharga, punya pikiran negatif tentang suami adalah gejala umum," papar Kasandravati yang juga aktif di Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta. Semuanya berhulu pada empat faktor pencetus: kondisi psikologis, fisik, kimia, dan sosial. Secara psikologis, saat hamil, semua perhatian tumpah ke si ibu, termasuk dipenuhinya semua keinginan yang terkadang aneh atas nama orok. Namun, begitu melahirkan,semua perhatian beralih ke si jabang hayi. Tak terkecuali sikap suami, yang sedang bangga-bangganya jadi ayah. Sementara si ibu yang lelah dan sakit pasca melahirkan merasa lebih butuh perhatian. Secara fisik, aktivitas mengasuh bayi - menyusui, memandikan, mengganti popok, menimang - sepanjang hari bahkan tak jarang di malam buta, memang menguras tenaga. “Saya sendiri merasakannya. Apalagi jika jarak kelahiran sangat dekat. Anak pertama baru empat bulan, saya sudah hamil lagi,” kisah Kasandravati, finalis None Jakarta 1989 ini buka kartu. Padahal, sebagai istri dan ibu, bukan cuma si bayi yang harus diurusi. Ada begitu banyak daftar tugas rumah tangga dan pekerjaan lain yang harus dibereskan pada saat bersamaan. Masih beruntung wanita di Indonesia relatif mudah mendapat bantuan dengan cara memiliki pembantu rumah tangga, pengasuh bayi, atau keluarga besar - ibu, mertua, kakak, kerabat lain. Di Barat, dengan budaya, keluarga batih (inti) serta mahalnya gaji pembantu dan pengasuh bayi, ibu dan kalangan biasa mau tak mau harus mengatasi semuanya sendirian. Wajar kalan DPM dikeluhkan 10 - 20% wanita Amerika maupun Afrika. Depresi itu biasanya berlangsung sejak 24 jam, atau 4 - 5 hari usai melahirkan, sampai beberapa hari, minggu atau bulan kemudian. Di Indonesia, seperti biasa, tak ada data pasti. Terlebih, “Berkonsultasi dengan psikolog belum dirasakan kebutuhan mendesak. Jadi, tak banyak data yang bisa tercatat," ungkap Kasandravati. Pencetus lain adalah reaksi kimia dalam tubuh. Selama hamil dan melahirkan terjadi perubahan susunan hormon, termasuk pada estrogen yang bertanggung jawab atas suasana hati dan kesadaran. Usai bersalin, Jumlah hormon kortisol, yang menaikkan kadar gula darah dan menjaga tekanan darah, menurun mendekati tingkat orang yang sedang terganggu depresi. Pada masa itu juga, hormon laktogen dan prolaktin dihasilkan kelenjar bawah otak untuk merangsang payudara menghasilkan susu, yang repotnya, bila hertemu dengan tingkat hormon progesteron dan estradiol yang rendah, akan menimbulkan keletihan dan bermuara pada depresi.

Rawat tuntas

Namun, pencetus terparah adalah faktor sosial, yakni banyaknya tuntutan menjadi ibu yang baik dan sempurna. Terutama yang datang dari diri sendiri dan dirangsang oleh iklan produk keperluan bayi yang mau tak mau akhirnya menjadi "standar masyarakat”.
Iklan itu selalu menampilkan ibu berwajah lembut dan bahagia bersama si bayi yang segar habis mandi. Tak ada iklan yang mempertunjukkan wanita lesu dalam daster, berkeringat, serta berjuang menahan letih dan kantuk untuk menyusui. Jurang antara harapan dan kenyataan ini dengan mudah memicu rasa putus asa, tak berdaya, dan khawatir akan gagal sebagai ibu. Bantuan dari orang-orang terdekat yang berbeda generasi dan pandangan juga bisa mencetuskan konflik. Ibu dan mertua bersikeras untuk membedong si bayi, sementara panduan perawatan bayi kini justru melarangnya. "Tapi adanya orang-orang terdekat yang lebih berpengalaman, siap membantu, bergiliran mengasuh si kecil walau kadang tak sepaham, jauh lebih baik daripada kita berjuang sendiri," Kasandravati mengingatkan. “Jangan sampai kita memusuhi ibu dan mertua,” tambahnya.
Wanita karier yang jadi ibu punya tantangan sendiri. Biasanya ingin segera kembali ke pekerjaan usai melahirkan. Karena biasa sigap dan disiplin menangani pekerjaan, mereka pun berharap hal yang sama bisa diterapkan pada si bayi. Padahal, kenyataannya sering berbeda. Bayinya ternyata sangat merepotkan dengan menangis terus-menerus tanpa sebab, jadwal lapar dan bangun tak teratur pun memaksanya kurang tidur. Walau terasa kuno, kebiasaan pulang ke rumah orangtua atau mertua, atau ditemani ibu atau mertua saat-saat masa kelahiran mendekat dan bersedia tinggal minimal sampai 40 hari setelah kelahiran, bisa meminimalkan kemungkinan depresi. Ibu dan ayah baru pun lebih tenang karenamerasa ada tangan berpengalaman yang membantu menangani si kecil.
Pada beberapa suku tertentu, Jawa dan Orang Rimba di Jambi misalnya, terdapat budaya untuk lebih memanjakan ibu menjelang dan 40 hari setelah melahirkan.
Di Jawa misalnya, adalah hal biasa menyediakan jamu perawatan lengkap habis bersalin, termasuk untuk luluran. Sementara dalam komunitas Orang Rimba, ada kebiasaan menyediakan pondok bersalin khusus di areal tanah gembur yang nyaman dan dekat aliran sungai, ditemani dukun bayi.

Pada literatur kedokteran modern sendiri, masa-masa itu memang dianggap masa paling kritis bagi ibu dan bayi. Pasangan muda modern dapat melirik buku, majalah, atau info yang mudah didapat dari internet tentang persiapan selama kehamilan dan sesudah kelahiran sebagai pengganti kehadiran orangtua dan kerabat. Dengan kata lain, pasangan orangtua baru ini mesti menyadari dan mengatasi sendiri keadaan mereka. Ibu yang baru melahirkan juga harus mau menurunkan standar ibu dan bayi sempurnanya. Misalnya, si bayi kerap menangis, kalau dihitung-hitung sampai dua jam sehari itu wajar saja. Konsultasikan dengan dokter, bila Si bayi sangat rewel hingga mengganggu waktu istirahat siang dan malam. Apakah perlu memberikan terapi pijat bayi yang biasanya ampuh untuk membuat Si bayi lebih nyaman dan sehat. Ibu pun bisa melakukan senam nifas untuk mempercepat kepulihannya.
Rencanakan dari awal penanganan kebutuhan rutin rumah tangga, terutama bila tak memungkinkan atau tak suka ada orang lain di rumah. Bila terlalu repot menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam sendiri, maka susu sereal, hidangan beku cepat saji yang hanya perlu dipanaskan di microwave atan oven bisa jadi pilihan. Atau, manfaatkan jasa boga.

Mengelus punggung

Pada enam minggu pertama, tak ada salahnya merogoh kantung lebih dalam untuk binatu yang akan membereskan tumpukan seprai, selimut, dan baju kotor bila mesin cuci dengan pengering pun masih terasa tak cukup memhantu.
Turunkan standar perawatan rumah untuk sementara waktu. Misalnya, jika biasanya mengepel dan menyapu rumah tiap hari, renggangkan jadi dua atau tiga hari sekali. Sediakan gelas, piring, mangkuk, sendok garpu plastik sekali pakai saat menjamu tamu. Kalau istri telanjur depresi sehingga tak bisa mengurus diri sendiri dengan baik, suami harus memberi perhatian lebih besar. Pongki sadar, saya mengalami baby blues. Jadi, kalau saya terlihat sedih sekali, dia akan mengelus-elus punggung saya. Biasanya, saya langsung tenang lagi,” kenang Sophie. “Kalau dia sedang ke luar kota, begitu sempat, dia akan menelepon saya, sekadar menanyakan keadaan saya dan si kecil. Saya jadi tenang dan tak berpikir macam-macam tentang dia.”
Bila suami sedang tak di rumah, sahabat bisa jadi pengganti terbaik. “Indy Barends (juga pemandu acara radio dan teve - Red.) pernah bilang ke saya. Kalau saat itu tak ada manajer yang kerap menemaninya, mungkin ia sudah bunuh diri. Kami sering berhubungan untuk berbagi pengalaman dan saling menguatkan,” kisah Sophie tentang sahahatnya yang juga melahirkan hampir bersamaan dan sama mengalami baby blues. Ada atau tak ada pembantu, suami sewajarnya mengambil alih beberapa tugas istri pada enam minggu pertama atau 40 hari pasca melahirkan. Itulah kesempatan bagi sang istri untuk memulihkan fisiknya, terutama otot-otot perut, apalagi kalau ia melahirkan melalui bedah caesar. Juga, untuk memberi kesempatan pada si ibu baru untuk berdandan, misalnya.
Kalau kesehatan istri memungkinkan, suami dianjurkan mengajaknya berbelanja keperluan bulanan agar bisa sejenak lari dari “penjara” rumah. Atau, kalau terlalu merepotkan membawa Si kecil dan perlengkapannya, suami bisa mengambil alih tugas berbelanja. Bila istri kehilangan nafsu makan, makanan dan minuman praktis yang cukup mengenyangkan, tapi tetap memenuhi syarat gizi, bisa disuguhkan untuknya. Contohnya, biskuit, keju, susu, yoghurt, sari buah, roti, buah segar.
Bila bekerja atau sedang di luar kota, suami sebaiknya memastikan istri makan teratur, atau meneleponnya.
Yang sangat diidamkan ibu baru adalah tidur dan tidur. Lebih hanyak istirahat di minggu-minggu dan bulan-bulan pertama setelah melahirkan, bisa mencegah depresi dan memulihkan tenaganya yang seolah terkuras habis.
Bahkan, setelah masa nifas berakhir, istri masih kehilangan keinginan untuk berhubungan intim. Kedekatan fisik dengan berbaring diam di dekatnya, memahami keadaannya, akan lebih menenteramkan sang istri daripada mengoceh dengan segudang nasihat. Ya, suami memang harus punya stok sabar dan perhatian segudang pasca istrinya melahirkan. (intisari)


(Mengingat 18 Oktober 2007)

Mulanya aku hanya tersenyum membaca artikel yang kudapat ketika kehamilanku menginjak 5 bulan. Rasanya tidak akan terjadi padaku (sok percaya diri), wong suamiku sangat memahami aku, sayang aku dan kita adalah tim yang kompak.

Aku yang sedikit terobsesi untuk melakukan inisiasi dini dari beberapa informasi di media yang sedang marak. Dokterku hanya berpesan padaku untuk tidak terlalu idealis apabila tidak sesuai harapan. Aku mungkin tidak begitu faham maksudnya. Benar saja, sesaat setelahh kelahiran, anakku memang sempat diletakkan didadaku, tapi tidak lama, kemudian ia dipindahkan kekamar anak. Saat pertama kali menyusui, anakku baru belajar menyusu, begitu juga aku belajar menyusui. Anakku tidak sabaran, aku juga cepat panik saat itu dan ASIku belum keluar. Aku sedih sekali, tau-tau aku jadi menangis tanpa sebab, melihat anakku diruang bayi, aku langsung bercucuran air mata, rasa sedih, kasihan dan campur aduk. Aku sama sekali nggak faham artinya, bahwa tanpa kusadari aku mengalami baby blues itu..

Sepulangnya dari rumah sakitpun, aku kembali dipenuhi rasa bersalah, sedih, kesal, panik dan macam-macam, bercampur dengan rasa sakit dan kelelahan setelah melahirkan. Badanku masih belum pulih, badan bengkak dimana-mana, perut masih besar seperti hamil 7 bulan, belum pandai menyusui (anakku juga tidak sabar padaku), ASI ku tidak banyak meski sudah kupompa, makanku jadi tidak teratur karena berbagai sebab. Aku tidak mengerti akan keadaanku dan aku begitu sedih dan frustrasi. Kepala dipenuhi dengan pikiran ketidakmampuan aku dibandingkan ibu-ibu yang lain.

Aku belum tahu kalau kerewelan bayi seumur itu adalah wajar seperti itu. Pipis dan pup hampir 10 menit sekali, minum susu juga begitu sering, menangis berkepanjangan. Anakku tidak sakit, anakku tidak rewel, anakku wajar. Berbagai pertanyaan dan nasehat aku terima sebagai tudingan atas ketidak becusanku sebagai ibu. Aku panik. Tidakkah orang-orang itu tau bahwa itu adalah hal terbaru dalam hidupku, mulai soal menyusui, mengganti popok, mencuci popok, memandikan dan lain lainnya. Aku tidak sanggup dengan pertanyaan, nasehat atau bahkan pembandingan. Aku butuh ketenangan dan kepercayaan diri.

Aku merasa tidak mendapat dukungan untuk itu, juga dari suamiku tercinta. Aku tidak tau kenapa dia tidak memahamiku saat itu, aku ingin dia tahu, aku lebih membutuhkannya daripada yang lain. Mungkin baginya aku bersikap sangat aneh saja saat itu.
Aku tahu aku tidak sanggup bertahan, bahkan demi menjaga perasaan orangtua sekalipun, kuputuskan menjauh dan menenangkan diriku dengan mengurus anakku seorang diri dan hanya mengharapkan bantuan suamiku. Saat itu mungkin banyak yang menilai aku tidak tahu diri atau apa karena menolak bantuan dan kerjasama dari orangtua dan kerabat dan memilih untuk tidak tinggal dirumah orang tua. (karena nyatanya kebiasaan lama, pulang ke rumah orangtua atau mertua, atau ditemani ibu atau mertua saat-saat masa kelahiran mendekat dan bersedia tinggal minimal sampai 40 hari setelah kelahiran, adanya tangan berpengalaman yang membantu menangani si kecil, justru tidak bisa meminimalkan kemungkinan depresi yang kualami). Entahlah kenapa aku justru sulit seperti yang lainnya, kesendirian
Setelah itu, secara emosi dan kondisiku membaik, bayikupun berubah menjadi lebih tenang. Berhadapan langsung dengan berbagai hal tentang bayi sebagai ibu baru membangun kepercayaan diriku kembali. Hanya dengan sedikit pengetahuan teori dan insting keibuan aku mengasuh bayiku, mengurus suami dan rumah tangga dengan pasti, meski kewalahan aku berusaha sebisa mungkin tanpa menurunkan standar kesempurnaanku.

Tidak ada komentar: