13 Februari 2008

Our Path

“Pulang Kampung”

Ungkapan asing itu begitu saja terlontar dari pemikiran kita berdua, mengakhiri perjalanan panjang kita selama kurang lebih 5 tahun. Menipu diri sendiri akan kebersamaan kita, hidup tak tentu arah. Aku disibukkan dengan pencarian panjangku akan arti cinta dan dicintai, hidup dan kehidupan, dia dengan perjalanan panjang kehidupan tanpaku di kota asing itu. Kita yang saat itu masing-masing hidup dengan ego, perbedaan prinsip, pendirian dan keyakinan akan arti hidup yang berbeda, memilih “berpisah”, ternyata tidak juga mampu memisahkan diri secara utuh. Hanya menemukan berbagai kepahitan hidup, ketidaktentraman jiwa, kesendirian juga berbagai bentuk kebebasan diri dan jiwa. Tapi saatnya bila hati sudah penuh dengan berbagai kekalutan hati dan pikiran malah bisa tentram bila melebur berdua sesaat.

Memang, akan sampai kapan perjalanan saat itu akan berujung bila kita tidak mulai menatanya, berhenti berpikir, nanti juga ada jalan, nanti juga akan ada saatnya..dan lain sebagainya.

Sudah cukup pencarian itu, pembuktian itu, perbaikan itu, pemahaman itu. Sudah waktunya kita menerapkan semua itu dengan menjalani hidup yang sebenarnya, berdua. Nyatanya, padanya kutemukan diriku, padanya kutemukan damaiku, padanya kutemukan hidup yang sebenarnya.

Aku hanya bisa menguji diri, mampukah aku menerimanya sebagai orang yang baru. Bisakah aku mulai mempercayainya, tidak meragukan keyakinannya, dan kembali mencintainya dengan sepenuh jiwa raga…

“Kita Lihat Saja Nanti”

Itu adalah kata pertama yang terlontar sebagai jawaban, mengawali perjalanan kita “pulang kampung”.

Membulatkan tekad untuk meninggalkan hal-hal yang “indah” saat itu. Awal karir yang bisa mengawali sebuah kesuksesan, sepertinya bisa mewujudkan impian akan hidup lebih nyaman, tentu aku hanya bisa bilang nyaman saat itu. Karena toh kita masih belum juga bisa menemukan tentram.

Cukup banyak penyesalan, kesedihan juga ketakutan yang muncul begitu pilihan itu kita tentukan. Tapi hidup adalah sebuah pilihan. Aku meneguhkan hati.

“Cinta yang bermekaran”

Entah ungkapan apa yang pas untuk perasaan-2 itu. Tidak ingat kapan tepatnya rasa itu muncul, yang ku tahu, kita berdua sudah tenggelam dalam cinta yang baru, percaya yang baru dan keyakinan yang baru, begitu saja tanpa syarat.

“Kehidupan Baru”

Hari-hari terlewati dengan semangat kerja baru, penuh bangga dan percaya diri. Sibuk menata tempat tinggal yang tidak besar, tidak mewah, tapi hangat. Mewarnainya dengan warna-warna impian kita, tiap sudutnya terpenuhi oleh jiwa kita. Tetap memberi ruang alam diseputarnya, kolam ikan untuk telinga kita, tanaman untuk nafas kita, dalam sekejap rumah itu telah berubah menjadi “kita berdua”.

Hingga saat itu datang….
Meskipun begitu berharap kehadirannya diantara kita…Berulang kali seolah tidak percaya dengan apa yang kualami, menjadi bingung, hanyut dalam lamunan, Aku hamil.. dan kita tidak lagi hanya berdua…

Dan menjadi wanita sempurna seperti kata orang, yaitu bisa menjadi teman, kekasih, istri dan ibu dalam kehidupannya, telah terjadi dalam hidupku saat ini.

Percayakah pada keajaiban?
Kelahiran adalah salah satunya. Sebuah campuran rasa yang tak terlukiskan. Semangat dan sakitnya menjadikan ku sadar betapa berharganya sebuah kehidupan, dan kehidupan yang terlahir itu menyadarkanku akan cinta dan kebesaranNya.

Sembilan bulan penantian kita akhirnya menghadirkan mahkluk mungil dengan mata ibu dan senyum ayah, “Bintang Timur” kami yang rupawan. Dia adalah sebentuk cinta kita yang nyata.



“Jatuh cinta”

Sepertinya aku belum juga bisa menerima kehadiran “orang lain” dalam rumah kita, meski statusnya hanyalah meringankan pekerjaan rumahku,apalagi pengasuhan terhadap buah hatiku. Kita putuskan untuk melakukannya berdua saja. Membagi tugas-tugas rumah serta pengasuhan hanya berdua ternyata cukup rumit buat kita. Mendadak kita tidak lagi leluasa beraktivitas berdua dan mulai mengorbankan waktu pribadi masing-masing, berusaha mengerti sebuah perubahan menjadi keluarga dan orangtua sesempurna semampu kita.

Kerumitan yang menjadikanku pusing, kesal, dan capek itu justru membuahkan rasa rindu, menghadirkan khayalan yang terus menerus membuat aku serasa “jatuh cinta”. Aku jatuh cinta pada suamiku dan anakku….tiap hari dan terus menerus….




“Valentine”

“Met Valentine”, “Sorry telat”……
Kuingat jelas isi polos kartu Valentine 17 tahun lalu mengawali perkenalan kita saat itu. Tidak ada romantisme, tidak ada rayuan, tapi debarnya bertahan hingga kini.
Kupikir lagi, kita memang bersatu karena banyaknya persamaan, hal itu yang menjadikan masing-masing dari kita tidak perlu memaklumi apapun dalam diri masing-masing. Buat kita apapun yang kita lakukan dan pikirkan bisa saling kita fahami.

“Kebersamaan kita tidak merubah rasa kekasih menjadi teman”

Ada ungkapan, “kami sudah lama menikah, sudah seperti teman”, ungkapan itu tidak berlaku bagi kita. Ungkapan yang tepat untuk kebersamaan kita adalah “Sebotol Anggur”, makin tua makin terasa nikmatnya.

Memang tanpa sadar kita sudah sama-sama “tua” mengenal satu sama lain, hingga gumamku saja dia mengerti. Membuat dan mengakhiri segala hal konyol, lucu, berani dan menakutkan secara bersama-sama. Kita sudah seperti anak kembar, memisahkan diri akan seperti mati separuh jiwa.

Hari-hari kita tidak serta merta berisikan rayuan dan hujan cinta kok, ada cemburu, sedih, kesal, marah, kecewa..dan semua itu terus mengajarkan kita tentang hal-hal yang manusiawi.

(Rinda Puspasari)

Tidak ada komentar: