26 Juli 2008

Perkawinan Tanpa Seks?

Jumat, 23 Mei 2008 | 02:49 WIB

CINTA yang sempurna mengandung tiga komponen, yakni nafsu, keakraban, dan komitmen. Tidak semua hubungan perkawinan berjalan sempurna karena tak berkembangnya salah satu atau dua komponen. Ibarat berjalan dengan satu kaki atau bekerja dengan satu tangan, tentu terjadi kesulitan serius dalam perkawinan seperti itu.

Menyimak kasus-kasus dalam ruang konsultasi perkawinan dan dari keluh-kesah antarsahabat, dapat dijumpai beragam kesulitan dalam hubungan perkawinan. Salah satu masalah yang unik yang dihadapi beberapa pasangan adalah terjadinya hambatan dalam relasi seksual, bahkan tidak terjadinya hubungan kelamin (coitus) dengan pasangan.

Ada orang yang beranggapan bahwa seks bukanlah persoalan utama dalam perkawinan. Menurut orang tersebut, ketiadaan atau adanya hambatan dalam relasi seksual tidak boleh dijadikan masalah dalam perkawinan. Hal ini dapat disambut dengan acungan jempol oleh orang lain apabila yang mengucapkan adalah seseorang yang pasangannya telah mengalami hambatan seksual secara permanen karena penyakit atau usia lanjut.

Pandangan tersebut merupakan bentuk pengorbanan yang berkembang dari rasa cinta yang telah matang. Namun, sulit sekali dimengerti apabila pandangan semacam itu diberlakukan bagi semua pasangan, termasuk yang berada dalam usia subur dan sehat secara fisik dan mental.

Seorang rekan wanita, dokter, usia menjelang 60 tahun, dengan sangat gigih berkampanye mengenai pentingnya seksualitas dalam perkawinan. Untuk menunjang keberhasilan misinya itu ia bersusah-payah menjadikan topik tersebut sebagai disertasi dengan pendekatan psikologi.

Ia termasuk wanita tradisional yang sangat mengutamakan komitmen dalam perkawinan. Sebagai wanita modern, ia juga mengutamakan keakraban seksualitas dalam hubungan dengan pasangan. Dengan bekal pengetahuan dan pengalamannya yang panjang menangani pasien, rekan dokter ini sampai pada titik keyakinan bahwa selama ini banyak kalangan mengabaikan pentingnya seksualitas dan akhirnya ternyata menjadi sumber masalah dalam perkawinan.

Aneka Kasus
Salah satu masalah dihadapi oleh pasangan yang telah menikah selama lima tahun. Hingga memasuki tahun kelima, sang wanita masih belum bersedia melakukan persetubuhan. Ia sangat takut. Sejauh itu suaminya yang sangat menginginkan persetubuhan, dengan sangat sabar masih menunggu kesediaan istrinya. Entah sampai kapan ia dapat tetap sabar. Dari pihak istri, ia terus gelisah karena di satu sisi ia ingin memenuhi harapan suami, di sisi lain ia membayangkan persetubuhan sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan.

Masalah seperti di atas juga terjadi pada pasangan lain yang telah hampir sepuluh tahun menikah, dengan penolakan seksual yang terjadi dari pihak suami. Meski di permukaan pasangan itu selalu tampak mesra, sebenarnya terdapat gejolak yang sangat besar yang dirasakan oleh sang istri. Ia tidak mengerti mengapa suaminya selalu menolak persetubuhan, sementara ia sangat mendambakan cinta yang sempurna.

Masalah ketiga dihadapi oleh pasangan yang telah lebih dari 20 tahun menikah dan berputra. Meski persetubuhan terjadi, hanya beberapa bulan sekali, dengan rasa terpaksa dari pihak suami. Sekalipun sang suami tidak pernah menunjukkan ketertarikan kepada wanita lain, hal ini telah menimbulkan sakit hati (perasaan ditolak) di dalam diri sang istri.

Masalah lain banyak terjadi pada pasangan usia subur yang harus mengatur kelahiran anak dan mengalami kesulitan dalam menggunakan alat kontrasepsi. Bagi mereka (seringkali bagi pihak wanita), kenikmatan persetubuhan tidak lagi dapat dinikmati karena kecemasan akan terjadi kehamilan. Akibatnya, terjadi “pendinginan” seksual. Mereka lebih banyak saling menghindar untuk mencegah berkembangnya dorongan seksual. Tanpa disadari, kondisi itu akhirnya menghasilkan kerenggangan dalam hubungan.

Perkawinan Ideal
Cinta, telah diakui oleh banyak tokoh kesehatan mental, merupakan sesuatu yang menyembuhkan dan sumber utama bagi pendewasaan manusia. Sigmund Freud ketika ditanya mengenai definisi kesehatan mental dan emosi, menjawab, “Kesehatan ialah kemampuan untuk bekerja dan mencinta.”

Alfred Adler mengatakan, “Semua kegagalan manusia adalah akibat kurangnya cinta.” Perkawinan, sebagai salah satu perwujudan cinta antara pria dan wanita, tidak lain merupakan salah satu jalan untuk mencapai kesehatan mental dan mencapai pendewasaan.

Perkawinan idealnya merupakan hubungan percintaan yang lengkap-sempurna. Seorang profesor psikologi dan pendidikan dari Universitas Yale, Amerika Serikat, yakni Sternberg, mengembangkan konsep cinta yang sangat dikenal dengan sebutan “Segitiga Cinta Sternberg”.

Dalam teorinya tersebut Sternberg menegaskan adanya tiga komponen yang terdapat dalam hubungan percintaan yang lengkap-sempurna atau total, yaitu komitmen (commitment), keakraban (intimacy), dan nafsu (passion).

* Komitmen, merupakan komponen kognitif. Pada tahap awal hubungan, hal ini berarti keputusan menjalin cinta dengan seseorang. Pada tahap lanjut menunjuk keputusan seseorang untuk terus mencintai seseorang. Hubungan percintaan yang didominasi oleh komitmen, dengan ketiadaan atau kurangnya keakraban dan nafsu, menghasilkan perasaan kosong dalam hubungan. Tipe percintaan ini disebut empty love.

* Keakraban, merupakan komponen emosional. Ini menunjuk pada perasaan kedekatan/keterikatan dengan seseorang, dan mencakup kemampuan satu sama lain untuk menceritakan pikiran-pikiran terdalam, kecemasan-kecemasan, harapan-harapan, dan impian-impian. Hubungan percintaan yang didominasi oleh keakraban, dengan minimnya komitmen serta nafsu, oleh Sternberg disebut liking. Ini tidak dapat menjamin kesuksesan hubungan cinta atau perkawinan.

* Nafsu, merupakan komponen motivasional. Ini menunjuk pada aspek romantis dan seksual dalam hubungan; merupakan gejolak fisiologis dan kebutuhan untuk bersatu dengan yang dicinta. Sternberg berkeyakinan bahwa nafsu cepat berkembang, dan cepat pula padam. Nafsu memiliki dua komponen: daya tarik dan daya negatif. Bila nafsu padam (atau bila salah satu pihak menolak pihak yang lain), datanglah penderitaan: terjadi simtom withdrawal (menarik diri) dan dapat pula terjadi depresi dengan segala konsekuensinya. Sebaliknya, bila komponen nafsu ini mendominasi, cinta tidak berkembang sebagaimana mestinya.

Dengan konsep cinta total dari Sternberg tersebut, sulit untuk diingkari bahwa selain komitmen dan keakraban, nafsu juga merupakan komponen penting dalam hidup perkawinan. Dengan tegas telah dinyatakan bahwa ketiadaan nafsu atau penolakan (seksual) salah satu pihak terhadap pasangannya berakibat penderitaan. Hal ini cukup nyata dalam contoh-contoh kasus di atas.

Melengkapi gambaran pentingnya hubungan seks dalam perkawinan, pasangan suami-istri Mary Perkins Ryan & John Julian Ryan dalam bukunya, Love & Sexuality, menulis, ”Mengalami bersama kesenangan dan kenikmatan persetubuhan dapat membuka pintu kepribadian masing-masing secara amat meyakinkan dan penuh dorongan, sehingga suami dan istri dapat saling mencintai semakin kuat. Namun, tidak hanya dalam persatuan itu mereka saling mencintai; mereka harus belajar mengabdikan seksualitas kepada cinta, baik dalam bersetubuh maupun hidup sehari-hari. Dengan begitu, cinta mereka dapat disebut cinta perkawinan sejati.”

Solusi Kasus
Dari beberapa kasus terjadinya hambatan dalam relasi seksual seperti yang dipaparkan di atas, secara implisit dapat ditemukan bahwa penyebab hambatan itu dapat mencakup beberapa hal: (a) Adanya trauma seksual; (b) Kurangnya dorongan seks atau impotensi; (c) Adanya pandangan negatif mengenai hubungan seksual; (d) Secara tidak langsung merupakan akibat kesulitan dalam kontrasepsi.

Dalam kasus trauma seksual (pengalaman seksual yang mencekam seperti perkosaan, baik yang dialami secara langsung maupun melalui pengamatan), tentu saja memerlukan keterbukaan dari pihak yang mengalami trauma dan pengertian dari pihak lain. Trauma tidak akan dapat diatasi tanpa penanganan yang serius, dan seringkali memerlukan bantuan profesional dari psikiater atau psikolog.

Dalam kasus impotensi, jelas membutuhkan keterbukaan dari pihak yang mengalami serta pengertian dari pihak lain. Bantuan profesional, baik psikolog yang berkompeten dalam masalah seksual dan juga seksolog atau androlog, juga sangat diperlukan.

Apabila hambatan terjadi karena adanya pandangan yang negatif dari salah satu pihak terhadap relasi seksual, hal ini berarti orang tersebut telah mengadopsi nilai-nilai moral yang ekstrem, yang menganggap seksualitas sebagai dosa atau sesuatu yang kotor. Apabila hal ini terjadi, diperlukan penjelasan dari figur yang memiliki otoritas dalam hal moral (rohaniwan) yang dipercaya untuk menjelaskan moralitas relasi seksual suami-istri.

Kesulitan dalam kontrasepsi, harus disadari sangat berpotensi memerosotkan dorongan seksual, dan membawa konsekuensi negatif dalam relasi suami-istri secara umum. Untuk itu yang diperlukan adalah bantuan dari ahli yang dapat menjelaskan metode kontrasepsi yang aman, sesuai dengan kondisi fisik maupun nilai-nilai orang yang bersangkutan, baik oleh bidan, dokter kandungan, atau penyuluh keluarga berencana.


M.M. Nilam Widyarini, MSi, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Guna Dharma, Jakarta

(Kompas.com)

Tidak ada komentar: